LAPORAN LENGKAP PRAKTIKUM
AVERTEBRATA AIR
OLEH :
DIAN RESKY PRATIWI
I1A1 10 048
Laporan Ini Diajukan Sebagai
Salah Satu Syarat Kelulusan Mata Kuliah Avertebrata Air
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2011
HALAMAN PENGESAHAN
Judul :
Laporan Lengkap Praktikum Avertebrata Air
Laporan Lengkap : Sebagai salah satu syarat kelulusan pada mata
kuliah Avertebrata Air
Nama :
DIAN RESKY PRATIWI
Stambuk : I1A1 10
048
Kelompok : II (Dua)
Program Studi :
Manajemen Sumberdaya Perairan
Laporan Lengkap ini
Telah diperiksa dan disetujui oleh :
Koordinator Asisten Asisten Pembimbing
MUH. FAJAR PURNAMA TRI MULYANI
I1A2 08 036 I1A1 09 018
Mengetahui
Koordinator Dosen Mata Kuliah
Prof. Dr. Ir. La Ode Muh. Aslan, M.Sc.
NIP. 1966 1210 1991 03 1 005
.......Desember
2011
Tanggal Pengesahan
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbilalamin Puji syukur penulis
panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Lengkap Praktikum Avertebrata Air,
ini sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan.Penulis tidak lupa
menyampaikan ucapan terima kasih kepada orang tua yang sangat membantu, baik
dalam membantu memberi semangat, doanya dan materinya. Dosen, koordinator asisten, asisten
pembimbing yang telah banyak membimbing dalam pelaksanaan praktikum serta
teman-teman yang telah membantu dalam penyusunan laporan ini.
Laporan Lengkap Avertebrata Air ini selain bertujuan sebagai syarat untuk
mengikuti ujian praktikum juga bertujuan untuk menambah pengetahuan mahasiswa
dalam ilmu perikanan khususnya
mengenai Avertebrata Air.
Penulis menyadari sepenuhnya akan kekurangan dalam pembuatan laporan ini
masih banyak terdapat kekurangan baik dari segi, isi, penulisan dan lain-lain
untuk itu kritik dan saran dari berbagai pihak yang sifatnya membangun sangat
penulis harapakan guna penyempurnaan laporan-laporan selanjutnya.
Demikian laporan lengkap ini penulis buat
semoga bermanfaat bagi para pembaca yang telah meluangkan waktunya untuk
membaca laporan ini.
Kendari, Desember 2011
Penulis
RIWAYAT HIDUP
DIAN RESKY PRATIWI, Lahir Tanggal 12 November 1992 di Wawotobi (Sulawesi Tenggara). Penulis adalah anak
kedua dari empat bersaudara dari pasangan Firdaus poapa dan Hadijah. Riwayat pendidikannya berawal
dari SDN 8 Baruga (Kendari) pada tahun 1998, kemudian tamat di SDN 1 Wundulako (Kolaka)
tahun 2004. Tahun 2007 tamat di SMPN 1 Wundulako
(Kolaka) dan tamat SMAN 1 Wundulako
(Kolaka) pada Tahun 2010. Sekarang
Penulis masih melanjutkan studinya di Program Studi Manajemen Sumberdaya
Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo Kendari melalui jalur Beasiswa Bidik Misi dan hingga semester tiga ini
Penulis masih aktif perkuliahan.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL...................................................................................
|
i
|
HALAMAN PENGESAHAN....................................................................
|
ii
|
KATA PENGANTAR................................................................................
RIWAYAT HIDUP.....................................................................................
|
iii
iv
|
DAFTAR ISI ..............................................................................................
|
v
|
DAFTAR GAMBAR..................................................................................
|
vi
|
DAFTAR TABEL.......................................................................................
|
ix
|
I.
Filum Porifera............................................................................................
|
1
|
II.
Filum Coelenterata.....................................................................................
|
9
|
III.
Filum Brachiopoda……………………………………………………….
|
22
|
IV.
Filum Mollusca..........................................................................................
|
30
|
V.
Filum Annelida...........................................................................................
|
44
|
VI.
Filum Crustacea..........................................................................................
|
56
|
VII.
Filum Echinodermata.................................................................................
|
72
|
DAFTAR PUSTAKA
|
|
LAMPIRAN
|
|
DAFTAR GAMBAR
Gambar Teks Halaman
1
|
Morfologi Spons (Callyspongia sp.)………………………….
|
2
|
2
|
Morfologi Spons (Callyspongia sp.)………………………….
|
6
|
3
|
Anatomi Spons (Callyspongia sp.)……………………………
|
6
|
4
|
Morfologi Ubur-Ubur (Aurelia sp.)………………………...…
|
11
|
5
|
Morfologi Karang (Coral sp.)…………………………………
|
12
|
6
|
Morfologi Anemon (Metridium sp.)…………………………..
|
13
|
7
|
Morfologi Ubur-Ubur (Aurelia sp.)..………………………….
|
18
|
8
|
Morfologi Karang (Coral sp.)…………………………………
|
18
|
9
|
Morfologi Anemon (Metridium sp.)……………………….…..
|
19
|
10
|
Morfologi Kerang lentera (lingula unguis)................................
|
23
|
11
|
Morfologi Kerang lentera (Lingula unguis)...............................
|
27
|
12
|
Anatomi Kerang lentera (Lingula
unguis).................................
|
27
|
13
|
Morfologi Burungo (Telescopium telescopium)……………....
|
32
|
14
|
Morfologi Kalandue (Polymesoda sp)………………………...
|
33
|
15
|
Morfologi Cumi-cumi (Loligo sp.)…...………………….….…
|
34
|
16
|
Morfologi Gurita (Octopus sp.)…………………………..……
|
35
|
17
|
Morfologi Burungo (Telescopium telescopium)………………
|
39
|
18
|
Morfologi Kalandue (Polymesoda sp)………………………..
|
39
|
19
|
Anatomi Kalandue (Polymesoda sp)…………………………
|
39
|
20
|
Morfologi Cumi- Cumi (Loligo sp)……………………………
|
40
|
21
|
Morfologi Gurita (Octopus sp)………………………………..
|
40
|
22
|
Morfologi Cacing laut ( Nereis
sp.)...........................................
|
46
|
23
|
Morfologi Cacing tanah ( L.
terrestris).....................................
|
47
|
24
|
Morfologi Lintah (Hirudo sp.)...................................................
|
48
|
25
|
Morfologi
Cacing Laut (Nereis sp.)……………………….......
|
53
|
26
|
Morfologi
Cacing Laut (Nereis sp.)…………………………...
|
53
|
27
|
Morfologi
Lintah (Hirudo sp.)………………………………...
|
53
|
28
|
Morfologi udang windu (panaeus monodon)………………....
|
57
|
29
|
Morfologi
udang putih (Panaeus marguensis)…………….….
|
58
|
30
|
Morfologi Kepiting Bakau (Scylla serrata)…………………...
|
59
|
31
|
Morfologi
Kepiting
Rajungan (Portunus pelagicus)……….....
|
60
|
32
|
Morfologi Lobster (Panulirus spp.)…………………………...
|
61
|
33
|
Morfologi
Udang Windu (Penaeus monodon)………………...
|
66
|
34
|
Morfologi
Udang Putih (Penaeus merguensis)………………..
|
66
|
35
|
Morfologi Kepiting Bakau (Scylla serrata)………………..….
|
67
|
36
|
Morfologi
Kepiting Rajungan (Portunus pelagicus)………….
|
67
|
37
|
Morfologi Lobster (Panulirus
spp.)…………………………..
|
68
|
38
|
Morfologi Teripang (H.
scabra)………………………………
|
73
|
39
|
Morfologi Bintang Laut (P. nodosus).......................................
|
74
|
40
|
Morfologi
Bintang ular (O. nereidina)……………………….
|
75
|
41
|
Morfologi Bulu Babi (D. sitosum)............................................
|
76
|
42
|
Morfologi Teripang Pasir (Holothuria
scabra)………………..
|
82
|
43
|
Anatomi Teripang (Holothuria scabra)……………………….
|
82
|
44
|
Morfologi Bintang laut (P. nodosus) tampak dorsal…………..
|
83
|
45
|
Morfologi Bintang laut (P. nodosus) tampak ventral………….
|
83
|
46
|
Morfologi Bintang ular (O. nereidina) tampak dorsal………...
|
83
|
47
|
Morfologi Bintang ular (O. nereidina) tampak ventral………..
|
84
|
48
|
Morfologi Bulu babi (D. sitosum) tampak dorsal……………..
|
84
|
49
|
Morfologi Bulu babi (D. sitosum) tampak ventral………….....
|
85
|
DAFTAR TABEL
Tabel Teks Halaman
1
|
Alat dan Bahan yang digunakan
pada praktikum filum Porifera beserta kegunaannya ..……………………………….
|
5
|
2
|
Alat dan bahan Beserta
Kegunaanya pada Praktikum Filum Coelenterata .....................................................................................
|
17
|
3
|
Alat dan Bahan beserta
kegunaannya pada praktikum filum brachiopoda ………………………………………………...
|
26
|
4
|
Alat dan Bahan beserta kegunaannya pada praktikum filum Mollusca ……………………………………………………...
|
38
|
5
|
Alat dan bahan beserta kegunaannya pada praktikum filum Annelida....................................................................................
|
52
|
6
|
Alat dan Bahan Yang
Digunakan Pada Praktikum Filum Crustacea Beserta Kegunaannya……………………………………………
|
64
|
7
|
Alat dan Bahan beserta
kegunaanya pada praktikum filum Echinodermata…………………………………………...……
|
81
|
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Avertebrata air
dapat didefinisikan sebagai hewan tidak bertulang belakang yang sebagian atau
seluruh daur hidupnya, hidup di dalam lingkungan perairan. Avertebrata air
memiliki bentuk tubuh yang sangat beragam, dari bentuk tubuh yang sederhana
sampai yang kompleks. Dari segi ukurannya, akan dijumpai mulai dari yang
berukuran micrometer sampai berupa meter. Dilihat dari lingkungan hidupnya, ada
yang di darat, air tawar, air payau atau laut, bahkan di daerah ekstrim seperti
danau garam (Hari, 2008).
Filum Porifera atau dikenal juga dengan nama spons merupakan hewan bersel banyak (metazoa) paling sederhana atau primitif. Dikatakan demikian karena
kumpulan sel-selnya belum terorganisir dengan baik dan belum mempunyai organ
maupun jaringan sejati.Walaupun porifera tergolong hewan, namun kemampuan
geraknya sangat kecil dan hidupnya bersifat sessile (Aslan, dkk., 2011).
Porifera berarti pori-pori atau pore bearers (Yunani, poros = pori atau saluran : latin , feres = memiliki). Melalui pori-pori dan
saluran-saluran ini, air diserap oleh sel khusus yang di namakan sel leher (collar cell), yang dalam banyak hal
menyerpai cambuk. Ini lebih pantas di
namakan koanosit (choanochyte : choane = cerobong; kytos = berongga) (Romimohtarto, 2007).
Hewan ini hidupnya menetap pada suatu
habitat pasir, batu-batuan atau juga pada karang-karang mati di dalam
laut.Dalam mencari makanan, hewan ini aktif mengisap dan menyaring air yang
melalui seluruh permukaan tubuhnya (Amir, 1996).
Pada umumnya, spons mampu memompakan air
rata-rata sebanyak 10 kali volume tubuhnya dalam waktu 1 menit, sehingga tidak
salah kalau hewan ini terkenal sebagai hewan “filter feeder” yang paling
efisien dibandingkan hewan laut lainnya (Bergquist dalam Amir, 1996).
Mengetahui filum porifera hanya melalui
literatur-literatur tidaklah cukup. Karena itu untuk mengetahui morfologi dan
anatomi filum porifera secara langsung melalui praktikum sangatlah penting
untuk dilakukan.
1.2
Tujuan
dan Manfaat
Tujuan
dilaksanakannya p\raktikum ini yaitu untuk mengetahui filum porifera secara
morfologi dan anatomi serta dapat mengklasifikasikan filum porifera.
Manfaat dari
praktikum ini yaitu praktikan dapat memperoleh informasi dan menambah wawasan
tentang filum Porifera serta dapat mengetahui morfologi dan anatominya sehingga
praktikan dapat mengklasifikasikan jenis-jenis hewan avertebrata air khususnya
filum porifera.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi
Klasifikasi spons
jenis Callyspongia sp. menurut Dawson
(1993) dalam Wahyudi (2008) adalah
sebagai berikut :
Kingdom: Animalia
Filum : Porifera
Sub
filum : Avertebrata
Kelas
: Demospongiae
Ordo :
Haploselerida
Famili :
Callyspongiidae
Genus
: Callyspongia
Spesies : Callyspongia sp.
(Sumber
: Dokumen Pribadi, 2011)
Gambar 1.
Morfologi Spons (Callyspongia sp.)
2.2. Morfologi dan Anatomi
Kata Porifera berasal dari bahasa Latin,
porus yang berarti lubang kecil atau pori dan ferre yang berarti
mempunyai. Jadi, Porifera dapat
diartikan hewan yang memiliki pori pada struktur tubuhnya (Romimohtarto, 2007).
Tubuh
porifera terdiri dari dua lapisan sel (diploblastik) dengan lapisan luar
(epidermis) tersusun atas sel-sel berbentuk pipih, disebut pinakosit. Pada epidermis terdapat porus/lubang kecil
disebut ostia yang dihubungkan oleh saluran ke rongga tubuh (spongocoel).
Sedangkan lapisan dalam tersusun atas sel-sel berleher dan berflagel disebut koanosit yang berfungsi untuk mencernakan
makanan. Di antara epidermis dan koanosit terdapat lapisan tengah berupa bahan
kental yang disebut mesoglea atau mesenkim. Di dalam mesoglea terdapat beberapa jenis sel,
yaitu sel amubosit, sel skleroblas, sel arkheosit. Sel amubosit atau amuboid
yang berfungsi untuk mengambil makanan yang telah dicerna di dalam koanosit.
Sel skleroblas berfungsi membentuk duri (spikula) atau spongin. Spikula terbuat
dari kalsium karbonat atau silikat. Sedangkan spongin tersusun dari
serabut-serabut spongin yang lunak, berongga seperti spon. Sedangkan sel
arkheosit berfungsi sebagai sel reproduktif, misalnya pembentuk tunas,
pembentukan gamet, pembentukan bagian-bagian yang rusak dan regenerasi
(Romimohtarto, 2007).
Tubuh porifera
berbentuk radial, tetapi yang lainnya sudah kehilangan simetrinya dan berbentuk
ireguler. Berdasarkan struktur susunan kanal terdiri atas tiga tipe yaitu tipe
Asconoid, tipe syconoid dan tipe leuconoid.
Struktur sponge memiliki 3 lapisan (pinacocytes, choanocytes,
dan mesohyl). Pinacocyte merupakan lapisan sel di bagian luar
tubuh sponge, choanocyte adalah lapisan sel bagian dalam yang merupkan
sel berflagellum (memiliki ekor). Choanocyte inilah yang
mengatur masuknya air ke dalam tubuh sponge. Choanocyte memiliki collar
(semacam rambut/serabut) yang letaknya di sekitar flagellum, fungsinya adalah
untuk menangkap sumber makanan yang diambil dari air yang dilewatkan.
Jaringan antara
pinacocyte dan coanocyte merupakan lapisan gelatin yang disebut mesohyl.
Di dalam mesohyl ini terdapat amoebid cell yaitu sel yang
dapat bergerak bebas dalam lapisan mesohyl karena tidak terikat pada
tempat tertentu. Selain itu juga terdapat spicule, yaitu suatu
struktur berupa kristal yang terbentuk secara spesifik oleh spesies tertentu
sehingga biasa dijadikan dasar untuk proses identifikasi (taksonomi). Spicule
terbentuk dari garam-garam karbonat maupun silikat. Strukturnya ada yang berupa
aragonite, calcite, atau spongin. Berdasarkan bentuk
tubuhnya, sponge terbagi atas 3 macam; ascon yang merupakan bentuk
paling sederhana, sycon, dan terakhir leucon (Rusyana, 2011).
Morfologi luar spons sangat dipengaruhi oleh faktor fisik, kimiawi dan
biologis lingkungannya. Pada perairan yang lebih dalam, spons cenderung
memiliki bentuk tubuh yang lebih simetris dan lebih besar sebagai akibat dari
lingkungan yang lebih stabil apabila dibandingkan dengan jenis yang sama yang
hidup pada perairan dangkal (Amir, 1996).
2.3. Habitat dan Penyebaran
Porifera
merupakan hewan bersel banyak (metazoa) yang paling sederhana. Sebagian besar hewan ini hidup di laut
dangkal, sampai kedalaman 3,5 meter, dan hanya satu suku (familia) yang hidup
di habitat air tawar yaitu Spongilidae.
Porifera mempunyai bentuk tubuh menyerupai vas bunga atau piala dan
melekat pada dasar perairan.Selain itu, porifera menempel di dasar laut dengan
kedalaman 5 km dan hidup secara heterotrof,. Adapula yang hidup di air tawar, misalnya
Haliciona (Romimohtarto, 2007).
Hewan
ini dapat hidup dengan baik pada arus air yang kuat, karena aliran air tersebut
menyediakan kumpulan makanannya dan oksigen (Amir, 1996).
Filum porifera termaksud spons, hidupnya melekat di karang dan merupakan
koloni yang terdiri dari sekelompok hewan yang mirip tabung-tabung kecil
seperti vas yang bersatu di dasar dengan tabung horizontal memiliki kantong
berdinding tipis, mengelilingi suatu ruang sentral spongosoel dengan sebuah
lubang besar yang disebut osculum
(Aslan, dkk., 2011).
2.4. Reproduksi dan Daur Hidup
Perkembangbiakan spons terjadi secara seksual dan aseksual. Dengan cara aseksual,
spons menghasilkan tunas dan apa yang di sebut gamul (gammules). Tunas ini dapat lepas dan membentuk hewan terpisah atau
tetap menempel. Dalam perkembangbiakan seksual, sel telur dan spermatozoa
berasal dari sel-sel amoeba yang berkeliaran di lapisan tengah, seperti pada
lapisan sikon. Larva berenang-renang sebentar yang memungkinkan mereka untuk
menyebar, kemudian terhambat dan melalui banyak perubahan, akhirnya membuat
ostium dan sebuah oskulum yang penting untuk proses makan dan tumbuh (Romimohtarto,
2007).
Pada umumnya hewan spons berkelamin ganda
(hermaprodit), tetapi memproduksi sel telur dan sel spermanya pada waktu yang
berbeda (Amir, 1996).
2.5. Makanan dan Kebiasaan Makan
Spons adalah pemakan menyaring (filter
feeder). Ia memperoleh makanan dalam bentuk partikel organic renik, hidup atau
tidak seperti bakteri, mikroalga dan detritus, yang masuk melalui pori-pori
arus masuk yang terbuka dalam air, dan dibawa kedalam rongga lambung atau
ruang-ruang bercambuk. Arus air yang masuk melalui system air dari saluran
spons diciptakan oleh cambuk koanosit yang memukul-mukul terus menerus. Arus
air yang lewat melaui spons membawa serta zat buangan dari tubuh spons , maka
penting agar air yang keluar melalui oskolum di buang jauh dari badannya,
karena air tersebut tidak berisi makanan lagi, tetapi mengandung asam karbon
dan sampah nitrogen yang beracun bagi hewan tersebut (Romimohtarto, 2007).
2.6. Nilai Ekonomis
Secara
ekonomis, Porifera tidak mempunyai arti penting. Hewan Demospongia yang hidup
di laut dangkal dapat dimanfaatkan oleh manusia, misalnya spons untuk mandi dan
pembersih kaca. Namun menurut Hari (2008), beberapa jenis sepon air laut seperti sepon jari berwarna oranye, Axinella
canabina, diperdagangkan untuk menghias akuarium air laut, adakalanya diekspor
ke Singapura dan Eropa.
Porifera selain dapat dipakai sebagai bahan pembersih atau penggosok juga
berperan dalam ekosistem air. Salah satu peranan porifera dalam ekosistem air
yaitu jenis sepon dari famili Clinidae mampu
mengebor dan menembus batu karang dan cangkang moluska, sehingga membantu
pelapukan pecahan batu karang dan cangkang moluska yang berserakan di tepi
pantai (Hari, 2008).
III.
METODE
PRAKTIKUM
3.1.Waktu
dan Tempat
Praktikum ini di laksanakan pada hari Selasa tanggal 01
November 2011 pukul 15.30 - 17.30 WITA dan bertempat di Laboratorium Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelauatan Universitas Haluoleo Kendari.
3.2. Alat dan Bahan
Alat dan Bahan yang digunakan pada
praktikum ini dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1 Alat dan
Bahan yang digunakan pada praktikum filum porifera beserta kegunaannya
No.
|
Alat dan Bahan
|
Kegunaan
|
1.
2.
|
Alat
- Baki
(dissecting pan)
-
Pisau Bedah (scalpel)
-
Pinset (forceps)
-
Alat Tulis
-
Buku Gambar
Bahan
-
Spons
(Callyspongia sp)
-
Alkohol
70%
|
Tempat menyimpan objek yang akan diamati
Untuk
mengiris objek
Untuk
mengangkat dan memindahkan objek
Untuk
menulis
Untuk Menggambar
Sebagai bahan yang diamati
Sebagai
pengawet bahan
|
3.3. Prosedur Kerja
Prosedur
kerja pada praktikum ini yaitu sebagai berikut :
1. Melakukan pengamatan pada organisme yang telah diambil
dari perairan yaitu spons.
2. Meletakkan organisme pada baki kemudian mengidentifikasi bagian-bagian
organisme tersebut.
3. Menggambar bentuk secara morfologi dan anatomi
bagian-bagian organisme yang telah diidentifikasi dan diberi keterangan pada
buku gambar.
IV.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil
Pengamatan
Hasil pengamatan pada praktikum ini adalah sebagai
berikut :
1. Pengamatan pada morfologi
filum Porifera
Keterangan
:
1.
Osculum
2.
Spongocoel
3.
Holdfast
Gambar 2. Morfologi Spons (Callyspongia sp).
Keterangan:
1.
Spongocoel
Gambar 3.
Anatomi Spons (Callyspongia sp)
4.2
Pembahasan
Pada pengamatan
praktikum kali ini kami melakukan pengamatan pada filum porifera. Pengamatan
yang kami lakukan pada kelas demospongiae dan untuk spesies yang kami amati
adalah spons (Callyspongia sp).
Mengamati struktur morfologi dan anatomi spons.
Spons hidup
berkoloni dan melekat dikarang dengan bentuk tubuh yang mirip dengan
tabung-tabung kecil. Spons memiliki dinding tubuh yang tipis dan mengelilingi
suatu ruangan sentral spongocoel dengan sebuah lubang besar yang disebut dengan
oskulum.
Spons memiliki struktur permukaan tubuh yang
berpori-pori sehingga ia dimasukkan kedalam filum porifera, Kebanyakan dari
spesies spons hidup di air laut, dan tidak mempunyai jaringan atau organ yang
sejati. Bentuk dan ukurannya sangat bervariasi. Pola pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh keadaan substrat. Hal ini didukung oleh Romimohtarto (2007)
yang menyatakan bahwa spons adalah hewan multiseluler yang mempunyai banyak
pori-pori dan saluran-saluran sehingga ia dimasukkan kedalam filum porifera.
Berdasarkan sistem saluran air (Canal System) terdiri atas tiga tipe yaitu tipe Asconoid, tipe
syconoid dan tipe leuconoid. Kelangsungan hidup spons sangat tergantung pada
arus air yang mengalir melalui tubuhnya, air masuk melalui spongecoel yang mengandung oksigen dan zat makanan dan
air keluar melalui oskulum yang membawa hasil buangan berupa bahan karbon
bahkan keluar masuknya sperma juga mengikuti pola arus air tersebut. Pada dasarnya,
dinding tubuh porifera terbagi atas tiga bagian yaitu pinasoderm yang berfungsi
melindungi tubuh bagian dalam, mesoglea yang mengandung bahan tulang dan sel
amebocyte serta Choanocyte yang melapisi rongga atrium atau spongocoel.Hal ini
didukung oleh Aslan, dkk
(2011) yang menyatakan bahwa struktur sponge memiliki 3 lapisan (pinacocytes,
choanocytes, dan mesohyl).
V.
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik dari praktikum
ini yaitu :
1.
Porifera memiliki 3
bagian utama pada tubuhnya yaitu oskulum, holdfast dan spongosoel. Berdasarkan
sistem saluran air yang terdapat pada Porifera, hewan ini dibedakan atas tiga
tipe tubuh, yaitu tipe ascon, tipe sycon dan tipe rhagon.
2. Klasifikasi Spons jenis callyspongia sp. yaitu Filum Porifera, Kelas Demospongiae, Ordo
Haploselerida, family Acroporidae, Genus Callyspongia, Spesies Callyspongia
sp.
5.2. Saran
Praktikum selanjutnya sebaiknya dilaksanakan
tepat waktu sesuai jadwal yang telah ditentukan.
I.
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Coelenterata berasal dari bahasa Yunani,
yakni coelenteron yang berarti
berrongga. Secara bahasa coelenterarta
adalah hewan invertebrata yang memiliki rongga tubuh. Rongga tersebut berfungsi
sebagai saluran pencernaan. Coelenterata disebut juga Cnidaria karena memliki
sel-sel penyengat. Coelenterata memiliki struktur tubuh yang lebih kompleks
dibandingkan dengan porifera. Sel-sel coelenterata sudah terorganisir membentuk
jaringan dan fungsi dikoordinasi oleh suatu saraf yang sederhana.
Filum coelenterata terdiri atas tiga kelas yaitu kelas hydrozoa,
scypozoa, dan anthozoa. Hampir semua bagian pada filum ini memiliki tentakel
yang tersusun dalam sebuah lingkaran yang mengelilingi tubuh yang terbentuk
silinder, Pola susunan ini disebut simetris radial. Filum colenterata disebut juga cnidaria yang
mempunyai cnidoccyte yang berisi kapsul penyengat kecil yang disebut menatosit
dan terletak pada sel epidermis. Dimana
tiap menatosit berisi gulungan benang kapiler
yang dapat ditembakan dengan adanya rangsangan yang dapat
melumpuhkan dan memegang mangsa
(Oemardjati dan Wardana, 2000).
Ubur-ubur (Aurelia sp)
adalah sejenis binatang
laut yang termasuk dalam kelas Scyphozoa. Tubuhnya berbentuk payung berumbai, dapat
membuat gatal pada kulit bila tersentuh.
Ia berenang dengan kehendak denyutan yang diatur oleh otot-otot dan
sarafnya. Alat pengimbang udara yang
terdapat pada tubuhnya membuat ubur-ubur terus terapung atau tenggelam. Ubur-ubur (Aurelia sp), merupakan makhluk hidup yang hampir 95 persen terbuat
dari air, hewan ini memiliki sejumlah keistimewaan mengejutkan yang tidak
diketahui secara umum. Sebagian jenisnya, misalnya, membuat bingung
musuh-musuhnya dengan memancarkan cahaya, sementara sebagian yang lain
menghasilkan racun mematikan di dalam tubuhnya
(Suwignyo,dkk., 2005).
Terumbu
karang mempunyai arti yang sangat penting baik dari segi sosial ekonomi dan
budaya maupun sebagai pendukung dan penyedia bagi perikanan pantai, hal
tersebut dikarenakan hampir sepertiga penduduk Indonesia yang tinggal di daerah
pesisir menggantungkan hidupnya di perikanan laut dangkal (Suharsono, 1996 dalam Elisnawaty 2001).
Anemon-anemon yang menyentuh anemon jenis lainnya akan
saling menyerang, saling menggigit dengan tentakel khusus sehingga meninggalkan
luka tusuk yang menyakitkan bagi lawannya. Ketika dua koloni
saling bertemu, mereka membentuk zona perbatasan yang jelas Interaksi
anemon-anemon itu memperlihatkan sesuatu yang sangat kompleks, menakjubkan, dan
perilaku terkoordinasi yang memperlihatkan pembagian tugas pada tingkatan
kelompok meskipun anemon adalah organisme yang sangat sederhana karena tidak
memiliki otak (Romimohtarto, 2007).
Tubuh
ubur-ubur berwarna bening sebagai adaptasi diri terhadap lingkungan. Bentuk
tubuhnya seperti payung berumbai, yang bila tersentuh dapat membuat gatal pada
kulit, bahkan ada jenis dari hewan ini yang dapat membuat luka bakar bila
tersentuh. Ubur-ubur dikelaskan dalam kumpulan hewan coelenterata. Seekor
ubur-ubur berbentuk seperti lonceng atau payung dengan baagian mulutnya ke
bawah. Pada bagian
tepi loceng terdapat tentakel yang terjuntai ke bawah. Ia berenang
dengan kehendak denyutan yang diatur oleh otot-otot dan sarafnya. Alat
pengimbang udara yang terdapat pada tubuhnya membolehkan ubur-ubur terus
terapung atau tenggelam. Tentakel yang terdapat pada ubur-ubur digunakan
sebagai senjata dengan menyengat mangsanya. Ikan dan juga manusia boleh menjadi
lumpuh jika terkena sengatan ubur-ubur ini (Hamzah, 2002).
Berdasarkan hal diatas maka diperlukan praktikum yang
membahas mengenai filum coelenterata dari berbagai aspek.
1.2.
Tujuan dan
Manfaat
Tujuan dari
praktikum kali ini adalah sebagai berikut untuk mengetahui filum coelenterata
serta morfologi dan anatominya dan mengetahui serta mengamati dan
mengklasifikasikan filum coelenterata.
Manfaat dari praktikum ini adalah agar praktikan dapat menambah ilmu
pengetahuan tentang bentuk tubuh dari filum coelenterata secara morfologi dan
anatomi khusunya filum coelenterata.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi
Klasifikasi
ubur-ubur (Aurelia sp),
menurut Sugiarti (2005) sebagai berikut : Kingdom : Animalia
Filum : Coelenterata
Kelas : Scypozoa
Ordo : Semaetomaceae
Famili : Semaetomaceae
Genus : Aurelia
Species : Aurelia sp
(Sumber : Anonim, 2011)
Gambar 4. Morfologi Ubur-ubur (Aurelia sp)
Klasifikasi Karang (Coral sp), menurut Rahmadani (2001) sebagai berikut :
Kingdom :
Animalia
Filum :
Coelenterata
Class :
Anthozoa
Ordo :
Autipatharia
Famili :
Antiphatriaceae
Genus :
Antipatus
Spesies : Coral sp
(Sumber : Anonim, 2011)
Gambar 5. Morfologi Karang (Coral)
Klasifikasi
Anemon (Metridium sp.), menurut
Romimohtarto (2007) sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum
: Coelenterata
Kelas
: Anthozoa
Ordo : Actinaria
Famili : Actinariaceae
Genus : Metridium
Species : Metridium sp.
(Sumber
:Dokumen Pribadi, 2011)
Gambar
6. Morfologi Anemon (Metridium sp)
2.2.
Morfologi
dan Anatomi
Coelenterata
merupakan hewan tingkat rendah yang memiliki jaringan ikat yang terdiri dari 2
bentuk individu yaitu polip dan medusa. Struktur tubuh coelenterata dapat
dibedakan menjadi dua macam yaitu polip yang hidup menetap dan medusa yang
hidup berenang bebas. Bentuk polip lebih kurang silindris, dengan satu ujung
tertutup tempat untuk melekat sedang lainnya ialah mulut yang terletak
ditengah-tengah dikelilingi tentakel biasa disebut oral dan ujung lain yang
menempel pada substrat disebut aoral.
Bentuk medusa seperti lonceng atau mangkuk terbalik dengan bagian
cembung mengarah ke atas dan bagian cekung dilengkapi mulut dan tentakel mengarah ke bawah (Aslan dkk.,
2011).
Coelenterata adalah invertebrat yang
memiliki rongga tubuh. Rongga tubuh tersebut berfungsi sebagai alat pencernaan
(gastrovaskuler). Coelenterata memiliki struktur yang lebih kompleks. Sel-sel
coelenterata sudah terorganisasi membentuk jaringan dan fungsi yang
dikoordinasikan oleh saraf sederhana ukuran tubuh coelenterata beraneka ragam.
Ada yang panjangnya beberapa millimeter, missal Hydra dan ada yang mencapai diameter 2 meter, misalnya Cyanea (Suwignyo, 2005)
Anemon laut
adalah hewan yang memiliki tentakel yang memiliki alat serupa tombak yang
disebut nematocyst. Nematocyst ini digunakan anemon laut untuk menangkap mangsa
dan mengusir predator. Anemon laut jenis Anthropleura elegantissima
hidup dalam koloni besar yang secara genetik identik menempel di batu-batu
karang di dasar. Bentuk
tubuh anemon laut seperti bunga dan terbentuk dari gumpalan atot yang tebal.
Pada gumpalan otot terdapat linkaran tentakel (pedal disc) yang berguna untuk
melekatkan diri pada substrat, sedangkan pada akhir daerah oral gumpalan
tersebut membentuk discus oralis yang memuat ratusan tentakel dan pada bagian
tengah terdapat mulut (Suwignyo, 2005).
Ubur-ubur tidak memiliki mata untuk melihat
mangsa atau musuhnya, tidak pula memiliki otak Ubur-ubur memiliki struktur yang
tembus pandang dan tentakel (organ menyerupai belalai) yang berjuntai dari
bagian bawah tubuhnya/tentakelnya. Pada
beberapa spesies, ada cairan beracun di dalam tentakelnya. Ubur-ubur menangkap
mangsanya dengan cara menyemprotkan racun ini dan membunuh musuh-musuhnya.
Ubur-ubur yang tidak mempunyai racun tentu saja bukan berarti tidak dapat
mempertahankan diri. Sebagian di antaranya menggunakan sel yang menghasilkan
cahaya untuk melindungi dirinya bukan berarti tidak dapat mempertahankan diri.
Sebagian ubur-ubur diantaranya menggunakan sel yang menghasilkan cahaya untuk
melindungi dirinya. Menangkap mangsa mereka menggunakan tentakel (organ
menyerupai belalai) yang lengket dan dapat bergerak di air seperti tali alat
memancing (Yahya, 2003).
2.3. Habitat dan
Penyebarannya
Secara umum coelenterata hidup di air laut dan sebarannya
dipengaruhi oleh arus yang mengalir khususnya kelas scypozoa, walaupun ada juga
sebagian yang hidup di air tawar. Sebenarnya ada lebih dari 11000 spesies
anemon laut yang ditemukan diperairan seluruh dunia. Namun hanya ada 10 spesies
yang mampu bekerja sama dengan ikan klon/badut yaitu ikan anemon laut yang
hidup didaerah tropis, di samudera Pasifik dan Hindia. Biasanya satu individu
anemon laut menjadi rumah di sekelompok ikan klon/badut yang terdiri dari
sepasang ikan dominan hingga untuk ikan klon kecil lain. Habitat anemon laut
umumnya hidup dipasang surut dan mengambi. Pasir/pecahan cangkang keong untuk
ditutupkan dibadan sebagai pelindung. Sebagian anemon laut hidup diatas karang
batu, beberapa jenis melintang dipasir
(Romi, 2001).
Kelas
scypozoa yang memiliki jumlah species yang lebih dikenal dengan nama ubur-ubur,
yang hampir seluruhnya hidup dilautan dan kebanyakan menghuni perairan pantai
sehingga menimbulkan bahaya bagi perenang. Ubur-ubur
dan karang dapat hidup di hampir segala iklim, khususnya di air laut dan
sebagian besar berbahaya bagi makhluk lainnya (Yahya, 2003).
Ekosistem karang merupakan suatu ekosistem
khas daerah tropic diperairan dengan temperature tropis atau sub tropis. Karang
tumbuh dan berkembang di daerah tropis pada tempat yang relatif dangkal hangat
dan umumnya dekat dengan pantai. Karang tumbuh didaerah yang lautnya cukup
jernih karena memungkinkan dirinya untuk memperoleh sinar matahari. Di
indonesia karang tumbuh tersebar dari propinsi Aceh hingga Pepua seluas sekitar
60 sampai 85 ribu km2 (Romi, 2001).
2.4. Reproduksi dan Daur Hidup
Reproduksi coelenterata terdiri dari
reproduksi secara seksual dan aseksual (pembentukan tunas). Pada reproduksi
aseksual ditandai dengan tumbuhnya tunas baru dengan jalan budding. Sedangkan
secara seksual terjadi setelah pembuahan sperma yang dilepaskan oleh polip
induknya yang berkelamin jantan dan mencapai ova yang ada pada polip berkelamin
betina maka terbentuklah planula. Mulanya planula bersifat planktonik. Anemon laut merupakan salah satu penyusun
ekosistem terumbu karang yang seluruh tubuhnya lunak, mempunyai tentakel. Serta mengeras dibagian bawah yang
dipergunakan sebagai alat menempel pada bagian lain. Diantara tentakel anemon laut tersebut biasa dijadikan tempat berlindung
bagi ikan amphiprion dari gangguan predator (Nawangsari, 2000).
2.5. Makanan dan Kebiasaan Makan
Filum coelenterata makanannya berupa zooplankton (hewan kecil) yang
dilemahkan terlebih dahulu menggunakan nematosisnya yang terdapat di bagian
tentakelnya. Makanan yang dicerna secara intraseluler di dalam rongga
gastrovaskuler. sisa makanan yang tidak dicerna akan dikeluarkan melalui mulut
yang juga berfungsi sebagai anus (Romimohtarto, 2007). Pada coelenterata
umumnya carnivora, makanannya terutama binatang kecil, baik mulut maupun
tubuhnya dapat membesar dan mudah menelan cladocera dengan garis tengah 4x
tubuhnya. Apabila makanan yang biasa tidak mencukupi maka sampah substrat akan
dimakannya. Pencernaan dilakukan baik extra maupun intraceluler (Nawangsari,
2000).
2.6. Nilai Ekonomis
Pada filum coelenterata yang dapat dimakan oleh orang italia ialah pada
kelas scypozoa, begitu juga dengan orang-orang asia timur. Coelenterata mempunyai nilai ekonomis yang cukup
tinggi terutama dari jenis batu karang merah yang dapat digunakan sebagai
hiasan di rumah-rumah. Di dasar laut yang agak dangkal, coelenterate dapat
dil;ihat sebagai pemandangan bawah air yang indah, sehingga berguna sebagai
taman laut atau objek wusata dalam dunia pariwisata, serta dipergunakan sebagai
alah satu potensi untuk memperoleh devisa dari wisatawan mancanegara
(Wardianto, 2002).
Di Amerika tepatnya di Negara California
pakar obat-obatan telah mengembangkan obat pereda rasa sakit (pain-killing
drug) dari racun sejenis siput yang hidup di habitat karang. Kerangka kapur dari terumbu karang dapat
dijadikan bahan substitusi untuk merekonstruksi tulang manusia yang rusak. Terumbu karang merupakan perlindungan alami (natural
barrier) perairan pantai terhadap gelombang badai yang datang dari laut.
Berfungsi meredam energi gelombang dan mengurangi erosi dan kerusakan pantai
akibat kerasnya gelombang. Sebagai daerah wisata bahari, terumbu karang
merupakan tempat yang sangat menawan untuk kegiatan selam dan sebagai panorama
dalam laut. Di tempat- tempat dengan kondisi terumbu karang yang sehat dan
bagus industri pariwisata dapat berkembang pesat dan menghidupi masyarakat
pesisir dengan berbagai lapangan pekerjaan seperti pemandu wisata, kursus
renang-selam, tamasya laut dan lain sebagainya (Yahya, 2003).
III. METODE PRAKTIKUM
3.1. Waktu
dan Tempat
Praktikum kali ini dilaksanakan pada
hari Minggu Tanggal 4 Desember 2011, Pukul 14.00-16.00 WITA. Bertempat di
Laboratorium C Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo
Kendari.
3.2 Alat dan Bahan
Alat
dan bahan yang digunakan pada praktikum kali ini dapat dilihat pada tabel
berikut :
Tabel 2. Alat dan bahan Beserta
Kegunaanya pada Praktikum Filum Coelenterata
No.
|
Alat
dan Bahan
|
Kegunaan
|
1.
2.
|
Alat
-
Baki (dissecting pan)
- Pisau Bedah
(scalpel)
- Pinset
(forceps)
- Alat
Tulis
- Buku
Gambar
Bahan
-
- Ubur-ubur (Aurelia sp.)
-
- Karang (Millepora
sp.)
- Anemon (Metridium sp.)
|
Tempat
menyimpan objek yang akan diamati
Untuk mengiris
objek
Untuk mengangkat
dan memindahkan objek
Untuk menulis
Untuk
Menggambar
Sebagai bahan yang diamati
Sebagai bahan
yang diamati
Sebagai bahan
yang diamati
|
3.3 . Prosedur Kerja
-
Melakukan pengamatan pada organisme yang telah diambil
dari perairan.
-
Meletakan organisme pada baki kemudian mengidentifikasi
bagian-bagian organisme tersebut.
-
Menggambar bentuk secara morfologi dan anatomi
bagian-bagian organisme yang telah diidentifikasi dan diberi keterangan pada
buku gambar.
IV. HASIL PEMBAHASAN
4.1. Hasil Pengamatan
Hasil pengamatan
terhadap morfologi filum coelenterata adalah sebagai berikut
- Pengamatan pada kelas Scypozoa
Keterangan
:
1. Tentakel
2. Saluran Radial
3. Gonad
4. Mulut
5. Umbrela
6. Subumbrela
Gambar
7. Morfologi Ubur-ubur (Aurelia sp)
2.
Pengamatan Pada kelas Anthozoa
Keterangan
:
1.
Cabang-
cabang
2.
Polip
Gambar 8.
Morfologi Karang (Coral)
Keterangan
:
1. Tentakel
2. Mulut
3. Basal Plate
Gambar 9. Morfologi
Anemon (Metridium sp)
4.2.
Pembahasan
Coelenterata
memiliki rongga tubuh yang mana rongga tubuh ini berfungsi sebagai alat
pencernaan. Coelenterata juga mempunyai sel penyengat yang berfungsi melindungi
diri dan melumpuhkan mangsanya, sel penyengat hewan ini disebut cnidaria. Tubuh
coelenterata memilki dua lapisan sel yaitu ektoderm dan endoderm. Ectoderm
berfungsi sebagai pelindung sedangkan endoderm berfungsi dalam pencernaan.
Kedua lapisan ini dipisahkan oleh lapisan mesoglea. Coelenterata dibagi
beberapa kelas yaitu Hydrozoa (Hydroid, Hydromedusa), Scypozoa (ubur-ubur) dan
Anthozoa (Anemon dan Coral).
Filum
coelenterata merupakan hewan tingkat rendah yang memiliki jaringan ikat yang
terdiri dari dua bentuk individu, yaitu Polip berbentuk seperti tabung, satu
ujung tertutup dan merupakan tempat untuk melekat sedang lainnya pada mulut
yang terletak di tengah yang biasanya dikelilingi oleh tentakel yang lunak. Medusa
individu-individu berenang bebas lengan tubuh seperti gelatin, memiliki
tentakel dan mulut menonjol ditengah didaerah cekung bawah. Hal ini didukung (oleh Aslan dkk., 2011) menyatakan bahwa Coelenterata merupakan hewan tingkat
rendah yang memiliki jaringan ikat yang terdiri dari 2 bentuk individu yaitu
polip dan medusa.
Kelas Scypozoa biasa disebut
kelas ubur-ubur yang berenang bebas mengikuti arus dengan bentuk polip terdapat
pada stadia larva yang kecil. Ciri khas
medusa scypozoa adalah tepi lonceng berlekuk-lekuk dan disebut lappet yang
tidak mempunyai velum. Velum adalah keping sikular
yang menjular dari tepi dalam sel.
Pada
umunya jenis-jenis anemon seperti metridium mempunyai lipatan kulit diantara
oral disck dan colum yang lipatan ini disebut leher dan akan menutupi mulut dan
tentakel pada saat binatang sedang mengkerut.
Reproduksi dengan cara seksual maupun aseksual. Reproduksi aseksual
merupakan kejadian yang biasa, umumnya dengan jalan pedal laecration yaitu
dengan jalan melepaskan sebagian kecil pada waktu binatang merayap, bagian yang
tertinggal akan mengadakan regenerasi menjadi sea anemon kecil. Kopral
koloninya bertambah besar dengan jalan budding, terutama sepanjang jalan tipe
koloni, kuncup dapat tumbuh pada cabang penghubung atau pada polip itu sendiri,
tergantung pada jenisnya. Karang terdapat didaerah sedang, artik, antartika dan
terbanyak di daerah tropis.
Pada
filum coelenterata yang dimanfaatkan dibidang industri ialah sebagai alat
perhiasan seperti gelang dan manik-manik
Sedangkan pada karang digunakan sebagai
obat-obatan untuk pereda rasa sakit (pain-killing drug). Terumbu karang
dulu banyak disalah gunakan oleh warga pesisir yang mengambilnya sebagai bahan
dasar rumah atau dermaga-dermaga kecil sekarang hal itu masih banyak terjadi.
Namun sedikit demi sedikit telah diberikan penyuluhan tentang manfaat
karang. Kerangka kapur dari terumbu
karang dapat dijadikan bahan substitusi untuk merekonstruksi tulang manusia
yang rusak. Terumbu karang merupakan perlindungan
alami (natural barrier) perairan pantai terhadap gelombang badai yang datang
dari laut. Berfungsi meredam energi
gelombang dan mengurangi erosi dan kerusakan pantai akibat kerasnya
gelombang. Sebagai daerah wisata bahari,
terumbu karang merupakan tempat yang sangat menawan untuk kegiatan selam dan
sebagai panorama dalam laut. Di tempat-
tempat dengan kondisi terumbu karang yang sehat dan bagus industri pariwisata
dapat berkembang pesat dan menghidupi masyarakat pesisir dengan berbagai
lapangan pekerjaan.
V. PENUTUP
5.1. Simpulan
Berdasarkan
hasil pengamatan dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
-
Reproduksi coelenterata secara seksual
dan aseksual (budding/tunas).
-
Pada umunya
habitat coelenterata berada dilaut walaupun ada beberapa spesies yang hidup di
air tawar.
-
Coelenterata dibagi beberapa kelas yaitu
Hydrozoa (Hydroid, Hydromedusa), Scypozoa (ubur-ubur) dan Anthozoa (Anemon dan
Coral).
-
Colenterata
mempunyai dua bentuk tubuh yaitu polip dan medusa, polip adalah bentuk
kehidupan coelenterata yang menempel pada tempat hidupnya seperti karang dan
anemon sedang medusa adalah bentuk kehidupan coelenterata yang dapat berenang
bebas seperti ubur-ubur.
5.2. Saran
Saran saya
sebagai praktikan ialah melihat filum coelenetrata mempunyai banyak manfaat
sebaiknya seluruh elemen masyarakat saling menjaga kelestarian dari filum ini.
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Wilayah pantai sebagai suatu ekosistem
alami merupakan habitat berbagai macam organisme hidup, baik dari golongan
tumbuhan maupun hewan tingkat rendah dan tingkat tinggi, yang secara alamiah
saling berinteraksi dengan lingkungan biotik maupun abiotiknya. Pantai yang
merupakan daerah intertidal wilayah laut, keadaan fisiknya dipengaruhi oleh
gerakan ombak, pasang surut air laut serta pasokan air tawar. Organisme yang
hidup pada daerah ini memiliki pola adaptasi yang khas seperti penggali
substrat, salah satu contoh organisme tersebut adalah kerang lentera (Lamp shells) yang merupakan filum
brachiopoda (Suwignyo, 2005).
Braciopoda adalah hewan laut yang hidup
didalam setangkup cangkang yang terbuat dari zar kapur atau zat tanduk. Mereka
umumnya hidup menempel pada substrat dengan semen langsung atau dengan tangkai
yang memanjang dari ujung cangkang. Mereka sering dikira kerang karena
mempunyai setangkup cangkang, tetapi cangkang ini menghadap dorso-ventral
(atas-bawah), sedangkan kerang lateral (kiri-kanan) (Aslan, dkk.2011)
Filum brachiopoda dibagi menjadi 2 kelas
atas dasar pertautan kedua keping cangkang, yaitu inarticulata dan articulata.
Pada inarculata, bentuk dan ukuran kedua keping cangkang hanya dihubungkan oleh
otot, cangkang terdiri dari campuran kalium fosfat dan khitin sehingga dianggap
lebih primitif karena sama dengan tipe cangkang dari periode Cambrian dan periostrakum
terluar. Pada articulata, bentuk dan ukuran kedua keping cangkang tidak sama,
kedua keping cangkang dihubungkan satu sama lain oleh otot dan engsel atau ”hinge” pada bagian posterior (Aslan, dkk., 2011).
Lingula unguis adalah satu jenis spesies
dari filum brachiopoda dan biasa ditemukan pada perairan pantai sekitar yang
umumnya dangkal, daerah berlumpur, tidak berkoloni dan umumnya membenamkan diri
dalam pasir. L. unguis termasuk hewan penggali dengan menggunakan semacam
tangkai berotot yang terbuat dari organ lunak (Erifina, 2007).
Berdasarkan hal di atas maka
praktikum tentang filum brachiopoda penting
untuk dilakukan.
1.2. Tujuan
dan Manfaat
Tujuan dari praktikum ini yaitu untuk mengetahui morfologi dan anatomi filum Brachiopoda dan mengamati serta dapat mengklasifikasikan filum
Brachiopoda.
Manfaat dari praktikum ini
adalah agar praktikan dapat mengetahui bentuk morfologi dan anatomi serta dapat
mengklasifikasikan filum brachiopoda.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi
Menurut
Erifina (2007), Kerang Lentera/Lampu (Lingula
unguis) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom
: Animalia
Filum : Brachiopoda
Class : Inarticulata
Ordo
: Lingulida
Genus
: Lingula
Spesies
: Lingula unguis
(Sumber : Dokumentasi pribadi,
2011)
Gambar 10. Morfologi Kerang lentera (lingula unguis)
2.2. Morfologi
dan Anatomi
Brachiopoda memiliki kemiripan yang
berbeda dengan Mollusca jenis Bivalvia dimana pada bagian tubuhnya terlindungi
secara eksternal oleh sepasang convex yang dikelompokkan ke dalam cangkang yang
dilapisi oleh permukaan yang tipis dari periostracum organic yang berkisar
hingga 100 tahun yang lalu. Cangkang membentuk suatu mantel yang menutupi
rongga mantel pada bagian dorsal dan ventral.
Tubuh terdapat di dalam suatu cangkang dorsal dan ventral yang berisikan
suatu pedicle berbentuk slindris muncl dari bagian cangkang (Romimohtarto,
2007).
Kerang
lentera (L. unguis) mempunyai
cangkang dari zat tanduk yang terdiri dari tangkup, tetapi kedua tangkup ini
tidak berengsel, tidak seperti halnya kerang yang terdiri dari tangkup kiri dan
kanan, terdiri atas dan bawah. Bukaan cangkang L. unguis ada di depan, tidak seperti kerang yang bukaan
cangkangnya terdapat dibagian bawah. Bagian utama tubuh berisi visera terdapat
dibagian belakang cangkangnya, sebuah ruang yang luas tertutup diantara kedua
tangkup cangkang di depan tubuh adalah rongga mantel yang bagian dalamnya
dilapisi oleh mantel, sebuah katup dari dinding tubuh. Pada pinggiran setiap
lengan terdapat dua baris tentakel yang dipengaruhi oleh bulu getar. Pada
permukaan dalam dari tangkup atas dekat ujung belakang, melekat satu tangkai
berotot yang berbentuk silindrik yang panjang dinamakan pendukel yang berisi
perpanjangan yang berbentuk tabung dari rongga tubuh. Selama air surut, tangkai
tersebut memendek untuk menarik cangkang ke dalam lubang dan selama air pasang,
tangkai ini memanjang untuk mendorong cangkang ke permukaan air (Romimohtarto,
2007).
Bagian dalam L. unguis terdiri atas organ-organ
seperti hati, saluran pencernaan (usus dan lambung), kelenjar pankreas, gonad
dan otot-otot yang berfungsi sebagai penggerak organ seperti membuka dan
menutup cangkang serta gerak memutar tubuhnya yang disebut pedikel. Dibagian
depan (anterior) sebelah dalam cangkang terdapat suatu organ yang
berlipat-lipat meyerupai bentuk tapak sepatu kuda dan disebut lafofor. Organ
ini dilengkapi dengan tentakel bulu (bersilium) sebagai organ respirasi dan
alat untuk menangkap makanannya, disisi dinding usus terdapat lubang kecil yang
disebut nephridium dan merupakan lubang pembuangan zat-zat yang tidak berguna
(Mudjiono, 2000).
2.3.
Habitat dan Penyebaran
Sebanyak
30.000 spesies brachiopoda hidup pada era Paleozoikum dan Mesozoikum. Fosil
brachiopoda tersebar luas dan banyak terdapat dalam batuan dasar laut. Sekitar
335 spesies hidup, semuanya hidup di laut, soliter dan biasanya menempel pada
batu atau benda padat lainnya, beberapa spesies hidup dalam lubang di pasir
atau lumpur pantai, umumnya di perairan sedang dan dingin (Suwignyo, 2005).
L. unguis hidup di dasar
perairan yang umumnya dangkal, tidak berkoloni, daerah berlumpur dan dapat
berpindah tempat dengan pendukel yang berfungsi sebagai tangkai. Lumpur
sebagian besar merupakan partikel-partikel zat organik berbagai jenis kerang
tempat hidup yang baik. Meningkatnya kandungan lumpur yang belum mengendap
menyebabkan cahaya matahari penetrasinya terhadap dasar perairan. Hal ini,
menghambat proses fotosintesis dan mengganggu pertumbuhan organisme,
menyebabkan ketidakseimbangan dasar perairan berpasir atau berlumpur. Kerang
umumnya membenamkan tubuhnya didalam sedimen berpasir atau berlumpur (Dharma, 2000).
2.4. Reproduksi
dan Daur Hidup
Reproduksi
seksual umumnya diocious, gonad biasanya berupa 4 buah kelompok gamet yang
dihasilkan dalam peritoneum. Kecuali yang dierami, gamet dilepas ke air melalui
nephridia. Pembuahan diluar, telur menetas menjadi larva yang berenang bebas
dan sudah mulai makan. Larva inarticulata bentuknya mirip brachiopoda dewasa,
tidak mengalami metamorfosa pada akhir stadia larva tumbuh pedicle serta
cangkang dan larva turun ke substrat untuk kemudian hidup dalam lubang. Larva
articulata sebagai meroplankton selama 24 sampai 30 jam, turun ke substrat
mengalami metamorfosa menjadi bentuk seperti yang dewasa (Aslan, dkk., 2011).
Kerang Lentera bertubuh lambat, mencapai panjang cangkang 5 cm dalam waktu 12
tahun. Hewan
ini menjadi matang kelamin, mencapai 2,25 cm. Pemijahan terjadi disepanjang
tahun. Telur dan spermatozoa disebar akan terbentuk larva dan terjadi pembuahan. Embrio yang dihasilkan
akan terbentuk menjadi larva yang berenang bebas. Larva ini menghanyut di
permukaan laut dan makan tumbuh-tumbuhan renik yang terdapat di laut (Romimohtarto, 2007).
2.5. Makanan
dan Kebiasaan Makan
Pada
brachiopoda makanannya terdiri atas phytoplankton, partikel terlarut dan
koloid. Makanan dari L. unguis adalah
jasad renik yang melayang didalam air seperti plankton, sebagai hewan benthik
yang hidup menetap pada suatu dasar atau substrat. L. unguis mendapat makanannya dengan cara menyaring
partikel-partikel yang ada didalam air (Mudjiono, 2000).
Makanan kerang terdiri atas benda-benda
atau organisme yang membawa masuk ke dalam air kemudian mesuk kemulut melalui
ventral, silia dan palpus labialis ini mengiring makanan masuk kedalam mulut,
makanan dicerna dalam lambung dan proses selanjutnya akan diserap oleh usus dan
akhirnya ke anus (Nontji, 2005).
2.6. Nilai
Ekonomis
Lingula unguis merupakan
salah satu (spesies) yang mempunyai nilai ekonomis yaitu sebagai protein hewani
sehingga keberadaannya di perairan diambil oleh masyarakat untuk dikonsumsi
sebagai pengganti ikan (Erifina, 2007).
Kerang
lentera (L. unguis)umumnya dikomsumsi
sebagai bahan makanan yang biasanya dikonsumsi penduduk di dekat pantai dan
cangkangnya dapat dijadikan hiasan pakaian (Aslan,
dkk., 2011).
Kerang
lentera umumnya dikonsumsi sebagai bahan makanan, yang biasanya dikonsumsi
penduduk didekat pantai. Filum Brachiopoda menguntungkan karena digunakan
sebagai sumber makanan yang mengandung protein hewani yang cukup tinggi, juga
mempunyai nilai ekonomis yang tinggi karena mempunya harga yang tinggi
(Suwignyo.dkk, 2005).
III. METODE PRAKTIKUM
3.1. Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Minggu tanggal 20 November 2011, pukul
14.00 wita sampai selesai dan bertempat di Laboratorium C Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan, Universitas Haluoleo Kendari.
3.2. Alat dan Bahan
Alat-alat yang
digunakan pada praktikum ini dapat dilihat pada Tabel berikut :
Tabel 3.
Alat dan Bahan beserta kegunaannya dalam filum brachiopoda
No.
|
Nama Alat
|
Kegunaan
|
1.
|
Alat:
Baki (dissecting-pan)
|
Wadah
organisme-organisme yang akan diamati.
|
2.
|
Alat Bedah
|
Untuk membantu dalam proses
pengamatan.
|
3.
4.
|
Alat Tulis
Bahan
:
Kerang lentera (Lingula unguis)
|
Untuk
menggambar organisme yang diamati.
Sebagai bahan
amatan
|
3.3. Prosedur
Kerja
Prosedur kerja pada praktikum
ini yaitu sebagai berikut :
-
Mengambil organisme
laut yang termasuk dalam filum brachiopoda, lalu di
bawa ke laboratorium untuk
diamati.
-
Melakukan
pengamatan secara morfologi dan anatomi.
-
Menggambar
organisme tersebut berdasarkan hasil pengamatan.
IV. HASIL DAN
PEMBAHASAN
4.1. Hasil Pengamatan
- Kerang
Lentera/Lampu (Lingula unguis)
Keterangan :
1.
Pedukel (Tangkai
otot)
2.
Garis pertumbuhan
3.
Silia
Gambar 11.
Morfologi kerang lentera (Lingula unguis)
Keterangan
:
1.
Lambung
2.
Tangkai
3.
Hinge
4.
Lophophore
5.
Cangkang
6.
Mulut
7.
Gonad
8.
Nephridium
9.
Otot
Gambar 12. Anatomi kerang lentera (Lingula unguis)
4.2. Pembahasan
Pada pengamatan ini kami melakukan pengamatan
pada filum brachiopoda. Pada filum brachiopoda ini yang diamati pada kelas
inarticulata. Pada kelas inarticulata bahan amatan yang kami amati adalah
kerang lentera (Lingula unguis). Hewan ini lazim disebut kerang lentera karena bentuknya
menyerupai lampu minyak pada zaman kerajaan Romawi kuno. Pada bagian tubuhnya
terdapat cangkang yang menghadap lateral (kiri–kanan), serta semacam tangkai
berotot yang terbuat dari organ lunak, hal tersebut sesuai dengan pernyataan
Romimohtarto (2007), yang menyatakan bahwa Lingula
unguis mempunyai cangkang dari zat tanduk yang terdiri dari tangkup, tetapi
kedua tangkup ini tidak berengsel, tidak seperti halnya kerang yang terdiri
dari tangkup kiri dan kanan, terdiri atas dan bawah. Bukaan cangkang L. unguis ada di depan, tidak seperti
kerang yang bukaan cangkangnya terdapat dibagian bawah.
Dibagian dalam cangkang terdapat mantel yang
berfungsi untuk melindungi organ-organ yang terdapat dalam tubuh, lofofor yang
berfungsi untuk menyalurkan dan memutar air dalam rongga mantel berbentuk ”w”
terletak dibagian anterior, dan tentakel bersilium yang berfungsi untuk
respirasi dan menyalurkan organisme-organisme dalam rongga mulut, hal diatas
sesuai dengan pernyataan Aslan, dkk.
(2011), yang menyatakan bahwa didalam cangkang terdapat lophophore yang berfungsi untuk mendapatkan makanan, bentuk lophore
seperti dua tangan atau ”brachia”
yang panjang, menggulung dan masing-masing mengandung deretan tentakel serta
alur makanan menuju mulut.
Filum brachiopoda
dibagi menjadi dua kelas atas dasar pertautan kedua keping cangkang yaitu
inartikulata dan artikulata. Pada inartikulata bentuk dan ukuran keping
cangkang hampir sama yaitu tidak mempunyai ensel, kedua keping cangkang hanya
dihubungkan dengan otot, sedangkan pada artikulata bentuk dan ukuran kedua
keping cangkang tidak sama, kedua keping cangkang dihubungkan satu sama lain
oleh otot dan ensel. Cangkang terdiri atas kalsium karbonat dalam bentuk
kristal kalsik dan terluar lapisan teriostrakum. Permukaan cangkang adakalanya
berhiaskan garis-garis konsentrik, menyebar, bergerigi atau berduri. Warna
cangkang biasanya kuning kusam, atau kelabu. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Suwignyo (2005) yang menyatakan
bahwa Filum brachiopoda dibagi menjadi dua kelas atas dasar pertautan kedua
keping cangkang yaitu inartikulata dan artikulata. Pada inartikulata bentuk dan
ukuran keping cangkang hampir sama yaitu tidak mempunyai ensel artikulata
sedangkan artikulata bentuk dan ukuran kedua keping cangkang tidak sama.
V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil pengamatan yang
telah dilakukan, dapat disimpulkan sebagai berikut :
-
Bentuk
morfologi Kerang Lentera (Lingula unguis)
yaitu memiliki cangkang yang terbuat dari zat kapur, yaitu keping dorsal
yang lebih kecil dan keeping ventral yang lebih besar, mempunyai tangkai pada
ujung/belakang cangkang.
-
Filum brachiopoda
dibagi menjadi 2 kelas atas dasar pertautan kedua keping cangkang, yaitu inarticulata dan articulata. Pada inarculata, bentuk dan ukuran kedua keping
cangkang hanya dihubungkan oleh otot, cangkang terdiri dari campuran kalium
fosfat dan khitin. Pada articulata, bentuk dan ukuran kedua keping cangkang
tidak sama, kedua keping cangkang dihubungkan satu sama lain oleh otot dan engsel
atau ”hinge” pada bagian posterior.
5.2. Saran
Saran yang
dapat saya ajukan pada praktikum kali ini yaitu agar sebelum dilakukan praktek
di laboratorium sebaiknya dilakukan praktek lapangan terlebih dahulu sehingga
praktikan tidak mengalami kesulitan dan kesalahan pada saat mencari atau
mengambil bahan.
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perikanan merupakan suatu bidang ilmu
yang terus berkembang dari waktu ke waktu dan sangat membantu dalam pencapaian
pembangunan nasional, yakni masyarakat maritim dan mandiri. Pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi perikanan sangat ditentukan oleh pengetahuan dasar
yang memadai, adapun salah satu cara untuk mencapai pengembangan tersebut ialah
dengan ilmu avertebrata air dimana filum mollusca sebagai salah satu filum dari
beberapa filum avertebrata air. Kata mollusca berasal
dari bahasa latin mollis
yang mempunyai
arti lunak. Maka secara bahasa kata mollusca diartikan sebagai hewan bertubuh lunak. Baik yang
hidup di air tawar maupun air laut, baik yang hidup dengan cangkang maupun
tanpa cangkang seperti berbagai jenis citons, siput, kerang-kerangan serta
cumi-cumi dan kerabatnya.
Anggota dari filum mollusca mempunyai bentuk tubuh yang sangat beranekaragam, mulai dari bentuk silindris seperti cacing dan tidak
mempunyai kaki sampai bentuk
hampir bulat tanpa kepala dan tertutup dua keping cangkang besar, ukurannya
sekitar beberapa cm, misalnya pada citons dan ada yang berdiameter 1-2 meter
misalnya pada gurita. Oleh sebab
itu berdasarkan bentuk tubuh
dan jumlah cangkang, serta beberapa sifat lainnya filum Mollusca dibagi menjadi 8 kelas yaitu Chaetodermomorpha, Neomeniomorpha,
Monoplacophora, Polyplacophora,
Gastropoda, Pelecypoda, Scaphopoda dan Cephalopoda. Tetapi dari 8 kelas tersebut hanya 3 kelas yang mempunyai
nilai ekonomis penting yaitu Gastropoda, Pelecypoda dan Cephalopoda. Ketiga kelas tersebut
memberikan manfaat bagi manusia yaitu dapat digunakan sebagai bahan makanan
seperti pada kerang darah (Anadara
granosa), siput laut (Conus sp), dan Cumi-cumi (Loligo
sp.).
selain itu dari
segi industri cangkang dari filum ini memiliki nilai estetika yang tinggi
karena karena cangkang mollusca mempunyai warna yang indah dan beraneka ragam
terutama jenis tiram yang menghasilkan mutiara merupakan komoditas utama
(Saktiyono, 2005).
Mollusca adalah hewan yang mempunyai
bentuk morfologi tubuh yang lunak baiuk dengan cangkang ataupun tanpa cangkang.
Yang telah hidup sejak periode Cambrian, dimana terdapat lebih dari 100.000
spesies hidup dan 35.000 spesies fosil. Kebanyakan dari filum ini dijumpai
dilaut dangkal dan ada juga yang hidup pada kedalaman sampai 7.000 meter.
Tetapi beberapa lainnya mempunyai habitat di air payau, air tawar dan daratan
(Suwignyo, 2005).
Ciri dari filum mollusca ini mempunyai
tubuh simetris bilateral, tertutup mantel dimana memiliki kemampuan
menghasilkan cangkang pada tubuh serta memiliki kaki ventral. tiga kelas yang mempunyai nilai ekonomis
penting yaitu Gastropoda,
Pelecypoda/Bivalvia dan, Cephalopoda.
Ketiga kelas tersebut memberikan manfaat bagi manusia yaitu dapat digunakan
sebagai bahan makanan seperti Kalandue (Polymesoda
sp.), Burungo (Telescopium telescopium), Cumi-cumi (Loligo sp.), dan Gurita (Octopus sp.).
Selain itu juga cangkang pada gastropoda dapat dijadikan sebagai hiasan karena
banyak berwarna indah, terutama jenis tiram yang menghasilkan mutiara yang
merupakan komunitas utama (Saktiyono. 2005).
Dengan
demikian, berdasarkan latar belakang tersebut maka untuk
memperjelas pengamatan pada filum mollusca dan dapat
mengetahui filum ini, maka perlunya diadakan praktikum mengenai filum ini.
1.2
Tujuan
dan Manfaat
Tujuan dari pratikum ini adalah untuk
mengetahui bentuk morfologi, anatomi, dan dapat mengklasifikasi filum mollusca
serta membedakan filum yang termaksud dalam kelas Gastropoda dan Pelecypoda
Manfaat dari pratikum ini adalah dapat melihat secara langsung,
morfologi dan anatomi, sebagai bahan masukan untuk menambah ilmu pengetahuan
dan wawasan serta jenis-jenis mengenai filum mollusca.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi
Menurut Brotowijoyo (2000), Burungo (Telescopium
telescopium) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Mollusca
Kelas : Gastropoda
Ordo
: Mesogastropoda
Famili : Telescopinidae
Genus : Telescopium
Species : Telescopium telescopium
(Sumber : Dokumentasi pribadi, 2011)
Gambar 13. Morfologi Burungo (Telescopium telescopium)
Menurut
Brotowijoyo (2000), Kalandue (Polymesoda
sp.) diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom
: Animalia
Filum : Mollusca
Kelas : Pelecypoda
Ordo : Arcoida
Famili : Arcoidaceae
Genus :
Polymesoda
Species : Polymesoda sp
(Sumber
: Dokumentasi pribadi, 2011)
Gambar 14. Morfologi Kalandue (Polymesoda sp)
Menurut Suwignyo (2005), Cumi-cumi (Loligo sp.) dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum
: Mollusca
Kelas : Cephalopoda
Ordo : Decapoda
Genus : Loligo
Species : Loligo
sp.
(Sumber : Dokumentasi pribadi, 2011)
Gambar 15. Morfologi Cumi-cumi (Loligo sp)
Menurut Suwignyo (2005), Gurita (Octopus sp.) dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
Kingdom
: Animalia
Filum : Mollusca
Kelas : Cephalopoda
Ordo : Decapoda
Genus : Octopus
Species :
Octopus sp.
(Sumber : Dokumentasi pribadi, 2011)
Gambar
16. Morfologi Gurita (Octopus sp.)
2.2. Morfologi dan anatomi
Tubuh mollusca simetris bilateral, tertutup
mantel yang dilapisi oleh cangkang dan mempunyai kaki ventral, saluran
pencernaan lengkap dan di dalam rongga mulut terdapat radula kecuali pada
pelecypoda, radula terdiri atas tulang muda yang disebut ondotophora, mulut
berhubungan dengan esophagus, perut, usus yang melingkar dan anus yang terletak
pada tepi dorsal rongga mantel dibagian posterior. Jantung mollusca terdiri
dari dua serambi (Auricle) dan sebuah
bilik (Ventricle) terdapat pada
rongga pericardium. Alat pernapasan pada
kebanyakan mollusca adalah paru-paru yang ada pada beberapa jenis tetapi secara
umum mollusca mempunyai sepasang insang atau lebih yang disebut cnetidia yang
digunakan sebagai alat pernapasan (Suwignyo. 2005).
2.3. Habitat dan Penyebaran
Habitat mollusca kebanyakan dilaut dangkal dan
beberapa ditemukan pada kedalaman sampai 7000 meter, penyebarannya banyak
terdapat diperairan daratan dan tempat-tempat yang dangkal (Suwignyo, 2005).
Pada umumnya Gastropoda lambat pergerakannya
dan bukan merupakan binatang yang berpindah-pindah. Kebanyakan Cypraea ditemukan dibalik koral
atau karang yang telah mati. Conus lebih banyak variasinya, ada yang menempel
di atas terumbu karang, di bawah karang, di atas pasir ataupun yang membenamkan
dirinya di dalam pasir. Murex ada yang hidup di atas terumbu karang, dibalik
karang atau di atas pasir. Beberapa Cypraea, Conus, Muerx ditemukan hidup
didasar laut yang dalamnya sampai ratusan meter (Nontji, 200).
Pada kelas pelecypoda mempunyai habitat pada
lingkungan yang eksternal di daerah pasang surut. Hewan ini juga mempunyai
habitat di laut dan air tawar. |Sebagian hidup di daerah pasang surut dan
umumnya hidup di daerah litoral, dan ada pada
kedalaman 5000 m. Lingkungan tempat hidup dari hewan ini adalah dasar
yang berlumpur atau berpasir tetapi ada juga yang hidup pada substrat yang
keras seperti lempung batu atau kayu ( Saktiyono, 2005).
2.4. Reproduksi dan Daur Hidup
Mollusca mempunyai Organ reproduksi yang bersifat hermaprodit, yaitu organ kelamin jantan dan betina
berada dalan satu individu (monoecious) atau dapat juga terpisah yaitu ada
jenis jantan dan jenis betina (dioecious). Reproduksi secara aseksual, secara umum berkelamin satu dan fertilisasi
(pembuahan) dapat terjadi secara internal ataupun eksternal (Brotowidjiyo,
2000).
2.5. Makanan dan Kebiasaan Makan
Makanan dan kebiasaan makan beragam yaitu ada
yang bersifat herbivora, karnivora, ciliary fender, deposit feeder, parasit
maupun scavenger. Pada kelas Gastropoda
yaitu burungo (telescopium telescopium)
memiliki makanan yang terdiri atas bayam, dan tanaman lainnya. Makanan tersebut
diaduk dengan menggunakan mandibula yang bersifat tanduk dan dihancurkan oleh
radula. Radula dan tulang rawan serta otot bergerak kearah depan dan belakang
inilah yang disebut massa bakal.
Kelenjar ludah yang terletak di kanan kiri tembolok melepaskan hasil
ekskresi melalui suatu saluran ludah ke dalam rongga mulut yang akan bercampur
dengan makanan adapun pada Gastropoda beragam yaitu ada yang bersifat
herbivore, karnivora, ciliary fender,
deposit feeder, parasit maupun scavenger
(Sudarno, 2000).
2.6. Nilai Ekonomis
Filum mollusca menguntungkan karena
digunakan sebagai sumber makanan yang mengandung protein hewani yang cukup
tinggi yang berguna bagi kecerdasan anak dalam berkembang. Mollusca
juga mempunyai nilai ekonomis karena mempunyai harga yang tinggi
contohnya cumi-cumi, gurita, kalandue, dan burungo. Selain itu cangkang juga dapat dijadikan
sebagai bahan industri dan hiasan karena memiliki warna yang indah dan beragam.
Terutama jenis tiram yang menghasilkan mutiara merupakan komodutas utama
(Saktiyono. 2005).
Filum mollusca mempunyai nilai ekonomis yang
cukup tinggi karena hewan ini selain bisa dikonsumsi sebagai bahan makanan juga
cangkang dari hewan ini bisa dijadikan sebagai bahan industri. Protein yang
terkandung dari hewan ini sangat tinggi dan cangkang dari hewan ini memiliki
warna yang indah dan beragam ( Aslan, dkk.
2011) .
III. METODE PRAKTIKUM
3.1. Waktu dan
Tempat
Praktikum ini
dilaksanakan pada hari Minggu, tanggal 20 November 2011, pukul 14.00-17.00 WITA. Bertempat di Laboratorium C Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo Kendari.
3.2. Alat dan
Bahan
Alat dan
bahan yang digunakan pada praktikum filum Mollusca dapat dilihat pada Tabel berikut :
Tabel 4. Alat dan Bahan beserta kegunaannya pada filum Mollusca
No. Alat dan Bahan
Kegunaan
1. Alat
:
-
Baki (Dissecting-pan) Wadah
menyimpan objek
-
Pisau bedah (Scalpel) Alat membedah objek
- Pinset (forceps) Alat mengambil bahan
2. Bahan
:
- Burungo (Telescopium telescopium)
Objek yang diamati
- Gurita
(Octopus sp.) Objek yang
diamati
-
Cumi-cumi (Loligo sp.) Objek yang
diamati
- Kalandue (Polymesoda
sp.) Objek yang
diamati
3.3 Prosedur Kerja
Prosedur kerja
pada partikum ini adalah sebagai berikut :
-
Mengambil
Organisme filum mollusca di perairan laut kemudian membawanya ke
Laboratorium.
-
Mengamati
bentuk morfologi dan anatomi organisme mollusca tersebut.
-
Menggambarkan
bentuk morfologi dan anatominya serta memberikan keterangan pada setiap gambar
tersebut.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Pengamatan
Hasil pengamatan
pada praktikum filum Mollusca ini adalah sebagai berikut:
- Pengamatan Kelas Gastropoda
Keterangan
:
1.
Umbo
2.
Garis
Pertumbuhan
3.
Mulut
Gambar 17.
Morfologi Burungo (Telescopium
telescopium)
-
Pengamatan Kelas Pelecopoda/Bivalvia
Keterangan
:
1.
Cangkang
2.
Ligamen
3.
Umbo
4.
Garis
pertumbuhan
Gambar
18. Morfologi Kalandue (Polymesoda
sp.)
Keterangan
:
1.
Gigi
2.
Pul
3.
Mulut
4.
Otot
Abduktor
Gambar 19. Anatomi Kalandue
(Polymesoda sp.)
- Pengamatan Kelas Cephalophoda
Keterangan
:
1.
Tangan
2.
Kepala
3.
Tactil
Arm
4.
Sifon
5.
Mantel
6.
Tentacular
club
7.
Rostrum
Gambar 20. Morfologi
Cumi- Cumi (Loligo sp)
Keterangan:
1.
Tangan
Tentakel
2.
Mulut
3.
Kepala
4.
Badan
5.
Mantel
6.
Insang
7.
Sifon
8.
Jumbai
9.
Bintik
Mata
10.
Alat
pengisap
11.
Hecto
cotylus
Gambar 21.
Morfologi Gurita (Octopus sp).
4.2
Pembahasan
Mollusca berasal
dari bahasa Yunani yaitu “molis” yang berarti lunak. Jenis mollusca yang umum dikenal ialah siput,
kerang dan cumi-cumi. Anggota dari filum
mollusca mempunyai bentuk tubuh yang sangat beragam, dari bentuk silindris
seperti cacing dan tidak mempunyai kaki maupun cangkang, sampai bentuk hampir
bulat tanpa kepala dan tertutup dua keeping cangkang besar.
Pada pengamatan kelas Gastropoda spesies
yang diamati adalah Burungo (Telescopium
telescopium). Hewan ini memiliki tubuh yang tertutupi oleh cangkang seperti
kerucut, dengan arah putaran ke kanan dan hewan ini juga mempunyai
tentakel. Hal Ini didukung dengan pernyataan Kimbal (2000)
yang menyatakan bahwa hewan ini mempunyai cangkang yang bentuknya seperti
kerucut dan mempunyai struktur tubuh yang terdiri atas kepala, leher, dan organ
visceral. Hewan ini juga mempunyai
sepasang tentakel panjang yang digunakan
sebagai alat untuk melihat dan mempunyai tentakel pendek yang berfungsi sebagai
indera penciuman. Cangkang gastropoda terdiri atas satu lapisan. Lapisan paling luar
disebut periostrakum yang berfungsi
untuk melindungi lapisan bawah cangkangnya yang tebuat dari kalsium karbonat CaCO3 yang tahan terhadap erosi.
Pengamatan pada kelas Pelecypoda yaitu
Kalandue (Polymesoda sp.) dimana hewan ini memiliki dua
cangkang yaitu sisi anterior dan posterior yang menyatu dan dapat membuka. Setelah cangkang hewan ini dibelah, Nampak
salah satu organ tubuhnya yang menyrupai kapak yang berfungsi sebagai alat
gerak. Tubuh hewan ini pipih dan Nampak garis-garis yang melingkar pada
cangkangnyas. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Sugianto (2005) bahwa tubuh pipih secara lateral dan seluruh tubuh
tertutup dua keping cangkang yang
berhubungan di bagian dorsal dengan adanya “hinge ligament”. Kedua keping cangkang pada bagian dalamnya
ditautkan oleh sebuah otot aduktor anterior dan sebuat otot aduktor posterior
yang bekerjasama secra antagonis dengan hinge ligament. .
Pengamatan pada kelas Cephalopoda yakni
gurita (Octopus sp.), hewan ini
termasuk dalam kelas cephalopoda karena memiliki delapan buah tentakel, hewan
ini juga mempunyai bentuk morfologi tubuh yang lunak dan terdapat organ yang
berbentuk corong yang digunakan untuk menyemburkan air sehingga dapat bergerak
lebih cepat dalam air, pada bagian kepala terdapat dua pasang mata dan sepasang
bintik mata yang tentakelnya terdapat masing-masing sucker (alat penghisap)
yang memanjang diseluruh tentakelnya yang digunakan untuk menangkap
mangsanya. Pada cumi-cumi (Loligo sp), memiliki 8-10 tentakel yang
berfungsi sebagai alat pertahanan diri jika ada yang mengancam dengan
menyemburkan tinta. Sesuai dengan pernyataan Suwignyo (2005), yang menyatakan
bahwa cumi-cumi ( Loligo sp.)
memiliki kantung tinta yang berisi cairan yang berwarna hitam, cairan tinta
tersebut akan disemburkan jika sedang menghadapi bahaya.
Filum Mollusca ini sangat menguntungkan
dilihat dari segi sumber makanannya karena mengandung protein hewani yang cukup
tinggi hal ini sesuai dengan pernyataan Saktiyono (2005) bahwa filum mollusca menguntungkan karena
digunakan sebagai sumber makanan yang mengandung protein hewani yang cukup
tinggi yang berguna bagi kecerdasan anak dalam berkembang.
Organ
reproduksi pada filum mollusca dapat bersifat hermaprodit, yaitu organ kelamin
jantan dan betina berada dalan satu individu (monoecious) atau dapat juga
terpisah yaitu ada jenis jantan dan jenis betina (dioecious), hal ini didukung
pernyataan Nontji (2005) bahwa. organ reproduksi pada filum mollusca dapat
bersifat hermaprodit yang bersifat monoecious dan dioecious. Reproduksi secara aseksual, secara umum
berkelamin satu dan fertilisasi (pembuahan) dapat terjadi secara internal ataupun
eksternal. Pada kelas pelecypoda
merupakan hewan berkelamin terpisah (berumah dua), sehingga ada jenis-jenis
jantan dan betina dengan pembuahan di luar tubuh (eksternal).
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan
hasil pengamatan dan pembahasan maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai
berikut :
-
Anggota
dari filum mollusca mempunyai bentuk yang beraneka ragam, dari bentuk silindris
seperti cacing dan tidak memiliki kaki maupun cangkang, sampai bentuk hampir
bulat tanpa kepala dan tertutup dua keping cangkang besar. Tubuh mollusca simetri radial tertutup mantel
yang menghasilkan cangkang dan mempunyai kaki ventral. Saluran pencernaan pada mollusca lengkap dan
didalam rongga mulut terdapat radula.
-
Gastropoda
mempunyai sebuah cangkang, biasanya
melingkar karena torsi, bentuk kepala jelas mempunyai tentakel, mempunyai mata
dan radula, kaki lebar dan datar. Bernapas dengan sebuah atau sepasang insang
atau “paru-paru”. Sedangkan Pelecypoda
mempunyai cangkang dua keping biasanya simetris bilateral, dengan mantel dan
lingkaran dibagian dorsal. Otot aduktor
1 atau 2 buah, biasanya tepi mantel posterior membentuk sifon.
-
Semua Cephalopoda
adalah karnivora, mempunyai penglihatan yang tajam untuk mencari mangsa dan
menggunakan tangan atau tentakelnya
untuk menangkap mangsa.
-
Pada
Pelecypoda sebagian besar cillia feeder, karena sebagian deposit feeder maupun feeder
cilia memegang peranan penting dalam mengalirkan makanan ke mulut makanan yang tidak dapat dicerna disalurkan
oleh minor tyhosole ke usus.
-
Hewan anggota kelas
Gastropoda berjalan dengan perutnya, kepala jelas terlihat mempunyai satu atau
dua tentakel. Memiliki cangkang yang tersusun atas zat
kapur yang berfungsi melindungi tubuhnya contohnya pada Burungo (Telescopium
telescopium).
-
Perbedaan
antara kelas Gastropoda dan Pelecypoda adalah, pada kelas Gastropoda memilki
satu lapisan cangkang, sedangkan pada kelas Pelecypoda memiliki tiga lapisan
cangkang.
5.2
Saran
Saran
yang dapat saya sampaikan dalam pembuatan laporan ini adalah sebaiknya
fasilitas yang terdapat di laboratorium jurusan perikanan agar lebih memadai
terutama fasilitas kursi para praktikan, dimana ada praktikan yang melakukan
praktek duduk sementara ada praktikan yang melakukan praktek dengan berdiri,
hal ini akan membuat praktikan kurang nyaman dalam melakukan praktek.
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Filum
Annelida berasal dari bahasa latin Annulus
(cincin kecil atau gelang-gelang atau ruas-ruas) dan oidos (bentuk). Oleh sebab
itu Annelida disebut cacing cincin, cacing gelang , atau cacing bersegmen. Filum Annelida mencakup berbagai jenis cacing
yang mempunyai ruas-ruas sejati seperti
nereis, cacing tanah dan lintah. Hewan-hewan tersebut terdapai di laut, air
tawar dan di darat. Ciri khas filum Annelida adalah tubuh terbagi menjadi
ruas-ruas yang sama sepanjang sumbu anterior posterior. Istilah lain untuk ruas tubuh yang sama ialah
metamere, somite atau segment. Bagian
tubuh paling anterior disebut prostomium bukanlah suatu ruas, demikian pula
bagian di ujung posterior yang disebut pigidium, dimana terdapat anus. Segmentasi pada Annelida tidak hanya membagi
otot dinding tubuh saja melainkan juga menyekat rongga tubuh atau coelom dengan
sekatan yang disebut septum, jamak septa.
Tiap septum terdiri atas dua lapis peritoneum, masing-masing berasal
dari ruas di muka dan di belakangnya.
Filum Annelida terdiri atas sekitar 75.000 spesies, meliputi tiga
kelompok besar, Polychaeta, Oligochaeta dan Hirudinea, serta dua kelompok kecil
Aeolosomata dan Branchiobdella (Hari, 2008)
Kelas
Polychaeta adalah kelompok hewan invertebrata terbesar, yaitu sekitar 8000
spesies, kelompok terbesar ditemukan di laut.
Bentuk yang khas dari Polychaeta adalah bentuk tubuhnya
yang beruas-ruas dan setiap ruasnya terdapat sepanjang parapodia. Jenis
cacing Polychaeta umumnya
banyak ditemui di daerah pantai,
beberapa jenis hidup di bawah batu karang, dalam lubang dan liang di dalam batu
karang, dalam lumpur dan lainya hidup di dalam tabung yang terbuat dalam
bahan (Romimohtarto dan
Juwana, 2007).
Kelas
Olygochaeta yang terkenal adalah cacing tanah dan tubifex. Berbeda dengan polychaeta, bentuk tubuh
Olygochaeta tidak banyak variasinya. Terdapat lebih dari 3.100 spesies, kebanyakan terdapat di
air tawar, beberapa di air laut, payau dan darat. Jenis aquatik umumnya terdapat pada daerah
dangkal yang kurang dari 1m beberapa
membuat lubang dalam lumpur atau sebagai aufwuchus pada tumbuhan air yang
tenggelam ada pula yang membuat selubung menetap (Aslan, dkk., 2011).
Filum annelida sangatlah berperan besar bagi perikanan.
Karena itu, mengetahui filum annelida hanya melalui literatur-literatur
tidaklah cukup, sehingga praktikum secara langsung untuk mengetahui morfologi,
anatomi serta kegunaan filum annelida sangat penting untuk dilakukan khususnya
bagi mahasiswa perikanan.
1.2
Tujuan dan Manfaat
Tujuan dilaksanakannya praktikum ini yaitu untuk melihat secara langsung tentang morfologi dan
anatomi filum annelida, dapat membedakan annelida
darat dan annelida laut serta untuk mengetahui peranan annelida yang penting
bagi perikanan
Manfaat dari
praktikum ini yaitu praktikan dapat memperoleh informasi dan menambah wawasan
tentang filum Annelida sehingga setelah praktikum ini, praktikan dapat
mengetahui morfologi, anatomi dan dapat membedakan jenis annelida darat dan
laut serta memperoleh wawasan tentang manfaat langsung filum annelida khususnya
bagi perikanan.
II. TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Klasifikasi
Klasifikasi Cacing Laut (Nereis sp) menurut Suwignyo (2005) adalah sebagai berikut :
Filum : Annelida
Class :
Polychaeta
Ordo :
Phyllodocida
Famili :
Nereidae
Genus : Nereis
Spesies : Nereis sp.
(Sumber
: Dokumentasi pribadi, 2011)
Gambar 22. Morfologi cacing laut ( Nereis sp.)
klasifikasi Cacing Tanah (L. terrestris) menurut Kikie (2006) dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
Filum : Annelida
Class
: Olygochaeta
Ordo
: Ophistopora
Family :
Megascolecidae
Genus
: Lumbricus
Spesies : Lumbricus
terrestris
(Sumber : Dokumentasi pribadi, 2011)
Gambar 23. Morfologi cacing tanah ( L. terrestris)
Klasifikasi Lintah (Hirudo sp.) menurut Pinnata (2009) dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
Filum :
Annelida
Kelas :
Clitellata
Sub
kelas : Hirudinea
Ordo : Arhychobdellida atau Rhynchobdellida
Genus : Hirudo
Spesies : Hirudo
sp.
(Sumber :
Dokumentasi pribadi, 2011)
Gambar 24.
Morfologi lintah (Hirudo sp.)
2.2
Morfologi dan Anatomi
Annelida
berasal dari bahasa latin annelus
berarti cincin kecil-kecil dan oidos
berarti bentuk, karena bentuk cacing seperti sejumlah besar cincin kecil yang
diuntai. Tubuh terbagi menjadi ruas-ruas yang sama sepanjang sumbu
anterior-pasterior. Bagian tubuh paling posterior disebut prostomium bukan
suatu ruas. Bagian di paling posterior yang disebut pigidium terdapat anus. Polychaeta berasal dari bahasa Yunani poly berarti banyak dan chaeta berarti setae atau sikat. Umumnya
berukuran panjang 5-10 cm dengan diameter 2-10 mm. Tiap sisi lateral ruas tubuh
kecuali kepala dan ujung posterior, biasanya terdapat sepasang parapodia dengan
sejumlah besar setae. Bentuk parapodia
dan setae pada setiap jenis tidak sama, sehingga dipakai untuk identifikasi
jenis-jenis polychaeta. Prostomium terdapat
mata, antenna dan palp.
Olygochaeta berasal dari bahasa Yunani Oligos
yang berarti sedikit dan chaete, duri. Ruas-ruas
tubuh cacing dewasa dapat dikatakan sama bentuk dan ukurannya, kecuali bagian
anterior dan posterior. L. terrestris digunakasn sebagai contoh morfologi dan anatomi
oligochaeta pada umumnya. Jumlah ruas atau some pada cacing dewasa antara
115-200 buah, dan pada spesies dari famili Haplotaxidae sampai 500 buah. Ruas pertama adalah Peristomium yang mengandung mulut, dan ruas terakhir
terdapat anus. Untuk kelas hirudinae, ruas tubuh tampak jelas, clitellum
dorsal, parapodia dan cili tidak ada. Lintah
mudah dikenal dari bentuknya yang khas yaitu adanya 2 buah alat penghisap,
anterior dan posterior, sehingga lintah dapat menempel dengan erat pada kedua
ujungnya. Lintah tidak mempunyai parapodia maupun setae, tetapi mempunyai
clitellum. Panjang tubuh lintah dalam
keadaan tenang antara 1-5 cm, kecuali beberapa spesies seperti Hirudo medicinalis dapat mencapai 20
cm. Bentuk semua jenis lintah dapat
dikatakan sama, pipih dorso-ventral dan ujung anterior acapkali meruncing. Alat penghisap anterior mengelilingi mulut,
biasanya lebih kecil dari pada alat penghisap posterior. Jumlah ruas sejati
pada semua jenis lintah selalu tetap yaitu 234 buah tetapi kehadiran ruas-ruas
semua eksternal atau annuli
mengaburkan jumlah dan bentuk ruas yang asli (Hari, 2008).
Polychaeta yaitu pada
Cacing Laut ( Nereis sp.)
adalah anggota benthos yang memiliki sifat umum, yakni bentuk tubuhnya
memanjang seperti cacing, tubuhnya terdiri dari beberapa ruas dan setiap
ruasnya ditumbuhi oleh sepasang kaki semu (Parapodia yang pipih) ( Hutabarat dan
Evans, 1985 dalam Parlan, 2006).
Ciri khas
filum annelida adalah tubuh terbagi menjadi ruas-ruas yang sama sepanjang sumbu
anterior dan posterior. Bagian tubuh paling anterior disebut prostomium
bukanlah suatu ruas, demikian pula bagian di ujung posterior yang disebut pigidium,
dimana terdapat anus. Segmentasi pada annelida tidak hanya membagi otot dinding
tubuh saja melainkan juga menyekat rongga tubuh atau coelom dengan sekatan yang
disebut septum, jamak septa. Tiap septum terdiri dua lapis peritoneum,
masing-masing berasal dari ruas dimuka dan dibelakangnya. Saluran pencernaan
lengkap, lebih kurang lurus, memanjang dari mulut di anterior dan anus di
posterior. Pencernaan ekstraseluler, alat eksresi adalah nephridia, terutama
metanephridia, yang terdapat sepasang tiap ruas. Sistem pernafasannya melalui
seluruh kulit, insang atau apendiks. Peredaran darah tertutup, sistem saraf
terdiri dari sepasang cerebral ganglia atau otak pada prostomium, saraf
penghubung melingkari pharynx, sebuah atau sepasang banang saraf ventral sepanjang
tubuh, yang dilengkapi sebuah ganglion dan sepasang saraf lateral pada tiap
ruas (Simmon, 2004).
2.3 Habitat dan
Penyebaran
Cacing
polychaeta terutama hidup di laut meskipun beberapa jenis nereid mempunyai
toleransi terhadap salinitas rendah dan telah beradaptasi untuk hidup di air
payau dan estuary. Beberapa terdapat di air tawar sampai 60 km dari laut,
seperti di Bogor (Hari, 2008). Hal ini sesuai dengan pernyataan Romimohtarto dan Juwana (2001), bahwa polychaeta
banyak ditemui di pantai, sangat banyak terdapat pada pantai cadas, paparan
lumpur dan sangat umum ditemui di pantai pasir.
Beberapa jenis hidup di bawah batu, dalam lubang lumpur dan yang lainnya
lagi hidup dalam tabung yang terbuat dari berbagai bahan. Meskipun mereka adalah hewan benthic, tetapi
beberapa jenis berenang bebas di dekat permukaan laut, terutama selama musim
memijah.
Cacing laut (Nereis sp.) terutama hidup di laut, meskipun beberapa jenis nereis
mempunyai toleransi terhadap salinitas rendah dan telah beradaptasi untuk hidup
di air payau dan estuary. Beberapa
terdapat di air tawar sampai 60 km dari laut seperti Bogor (Suwignyo, dkk., 2005). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Hari (2008) bahwa lebih dari
3.100 spesies dari kelas olygochaeta, kebanyakan terdapat di air tawar,
beberapa di laut, air payau dan darat, beberapa membuat lubang dalam lumpur
atau sebagai aufwuchs pada tumbuhan air yang
tenggelam. Kebanyakan spesies laut hidup dalam lubang, di bawah batu atau pada rumput laut. Semua jenis spesies dari darat hidup dalam
lubang di tanah lembab. Kelas
hirudinea terdapat di laut, air tawar
dan darat. Kebanyakan lintah hidup di
air tawar yang tenang, dangkal, dan banyak tumbuhan airnya, pada tepi kolam,
danau atau sungai dengan aliran lambat.
Hanya beberapa spesies dapat hidup di air deras. Perairan dengan pH
rendah tidak disukai lintah. Jenis
tertentu banyak ditemukan pada perairan yang tercemar bahan organik.
2.4
Makanan dan Kebiasaan Makan
Makanan dari
kelas polychaeta seperti cacing Nereis
sp. yaitu meliputi : hewan-hewan avertebrata, alga dan detritus. Dia memegang mangsa dengan sepasang taring
yang tajam dimana taringnya tersebut dapat menjulur keluar. Selanjutnya sebagian besar pencernaan dan absorbsi
terjadi pada organ pencernaan yang sangat banyak percabangannya dan tersebar
pada seluruh bagian dalam tubuh, dimana hasil pencernaan diedarkan lewat
intraselular (menjadi sari-sari makanan) ke seluruh jaringan tubuh dan dengan
cara transport aktif dan difusi secara pasif (Romimohtarto, 2007).
Hal tersebut
sesuai dengan pernyataan Hari (2008) bahwa untuk kelas Polychaeta, cara makan
bermacam-macam sesuai kebiasaan hidupnya.
Karnivor atau raptorial feeder, dilakukan oleh kebanyakan
dari jenis errantia. Mangsa terdiri atas
berbagai avertebrata kecil yang ditangkap dengan pharynx atau proboscis yang
dijulurkan. Cacing polychaeta merupakan pemakan endapan atau deposit feeder,
secara langsung atau tidak langsung. Cacing kelas olygochaeta umumnya
mendapatkan makanan dengan cara menelan substrat seperti halnya cacing tanah,
dimana bahan organik yang melalui saluran pencernaan akan dicerna, kemudian
tanah beserta sisa pencernaan dibuang melalui anus. Adakalanya makanan itu terdiri atas ganggang
filament , diatom dan detritus. Sebagian besar spesies, sekitar 75% dari jumlah
speseis lintah yang telah dikenal ialah ektoparasit penghisap darah. Jenis lainnya banyak yang predator, dan memangsa cacing, siput dan larva
serangga. Beberapa jenis termasuk
scavenger, pemakan bangkai. Pada waktu makan, lintah menempelkan alat penghisap
anteriornya pada permukaan tubuh mangsa atau inang dan menyayat kulit mangsa
dengan tepi rahangnya. Di belakang rahang terdapat pharynx berotot sebagai
pompa. Kelenjar ludah (salivarygland) menghasilkan anticoagulant yang disebut
hirudin, asal nama Hirudinea, berfungsi untuk mencegah pembekuan darah mangsa.
2.5
Nilai Ekonomis
Cacing
polychaeta merupakan makanan alami yang baik bagi udang windu. Penaeus monodon di tambak, menjadikan
warna udang lebih cemerlang, berarti meningkatkan mutu udang. Jenis-jenis
sabellidae dan serpulidae seperti Sabella
pavonina dan Spirografis spalanzani
terkenal keindahannya, berbentuk seperti bunga gerbra dengan warna seperti bulu
merak, diperdagangkan untuk aquarium laut (Romimohtarto dan Juwana, 2007).
Untuk kelas
olygochaeta, keberadaan cacing tubificid di sungai tercemar dan saluran
pembuangan dari pemukiman adakalanya sangat banyak, sehingga menjadi mata
pencaharian bagi pedagang pengumpul cacing untuk dijual ke pengusaha ikan hias
dengan sebutan cacing trambut/cacing sutera. Abad ke-19 di Eropa dan Rusia
cacing dari kelas hirudiae khususnya spesies Hirudo medicinalis digunakan pada pengobatan tradisional untuk
menyembuhkan bengkak, serta memar dan bengkak pada sakit gigi. Namun merupakan
ganguan kecil bagi kerbau dan manusia, serta menimbulakn mortalitas yang tinggi
terhadap anak ikan karena merupakan parasit pada ikan (Hari, 2008)
III. METODE
PRAKTIKUM
3.1 Waktu dan
Tempat
Praktikum ini dilaksanakan pada hari Minggu tanggal 27
November 2011 pukul 14.00-16.00 WITA, bertempat di Laboratorium Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo Kendari.
3.2
Alat dan Bahan
Alat dan bahan serta kegunaannya pada praktikum filum
Annelida dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5. Alat dan bahan
serta kegunaannya pada filum Annelida
No. Alat dan Bahan
Kegunaan
1. Alat
:
-
Baki (Dissecting-pan)
Wadah menyimpan objek
-
Pisau bedah (Scalpel) Alat membedah objek
- Pinset (forceps) Alat mengambil bahan
2. Bahan
:
- Cacing laut (Nereis sp.) Objek yang
diamati
- Cacing darat (Lumbricus
terrestis)
Objek yang diamati
- Lintah (Hurido sp.) Objek yang
diamati
3.3 Prosedur
Kerja
Adapun prosedur kerja yang dilakukan dalam praktikum ini
yaitu sebagai berikut :
1.
Mengambil organisme
filum annelida di perairan laut kemudian dibawa ke laboratorium.
2.
Melakukan
pengamatan pada organisme tersebut
3.
Menggambar
organisme tersebut dan memberi keterangan secara lengkap lalu
mengidentifikasikannya.
IV.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1.
Hasil
Pengamatan
Keterangan
:
1. Mulut
2. Epidermis
3. Rambut
halus
(Paropodia)
4. Segmen
Gambar
25. Morfologi Cacing Laut (Nereis
sp.)
Keterangan
:
1. Mulut
2. Kliteum
3. Segmen
4. Epidermis
Gambar 26.
Morfologi Cacing Tanah (L. terrestris)
Keterangan :
1. Mulut
2. Segmen
3. Epidermis
4. Anus
Gambar
27. Morfologi Lintah (Hirudo sp.)
4.2
Pembahasan
Filum
Annelida mencakup berbagai jenis cacing yang mempunyai ruas-ruas sejati seperti
nereis, cacing tanah, dan lintah. Hewan-hewan tersebut terdapai di laut, air
tawar, dan di darat. Berdasarkan hasil
pengamatan pada cacing laut (Nereis sp),
diketahui bahwa organisme tersebut mempunyai banyak bulu yang menyebar pada
parapodia yang melekat pada sisi masing-masing ruas tertentu, setiap ruas
mempunyai seperangkat otot sendiri dan terpisah dari ruas sebelahnya, parapodia
tersebut berfungsi sebagai alat gerak dan perlindungan. Parapodia ini memiliki
cuping yang ditumbuhi oleh bulu-bulu (setae), sesuai dengan namanya,
Polychaeta, poly berarti banyak dan chaeta berarti setae atau sikat. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Aslan, dkk., (2011) yang menyatakan bahwa pada tiap sisi lateral ruas tubuh polychaeta,
kecuali kepala dan bagian ujung posterior, biasanya terdapat sepasang parapodia
dengan sejumlah besar setae, parapodia merupakan pelebaran dinding tubuh yang
pipih dan biramus, terdiri atas notopodium dan neuropodium, masing-masing
ditunjang oleh sebuah batang kitin yang disebut acicula, gerak polychaeta
disebabkan oleh perpaduan gerak antara parapodia, otot dinding tubuh dan cairan
rongga tubuh. Pada bagian kepala terdapat dua buah antena peristomial cirri,
terdapat mata peristomial dan parapodium.
Pada
pengamatan cacing tanah (L.
terrestris), dtemukan bahwa tubuh cacing tanah terdiri atas segmen-segmen.
Pada cacing ini juga ditemukan beberapa segmen dengan epidermis yang lebih
tebal, disebut clitellum yang merupakan ciri khas bagian yang digunakan sebagai
alat untuk melakukan proses reproduksi yang mengandung sejumlah lendir. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pratiwi
(2000) yang menyatakan bahwa pada sepertiga dari bagian depan tubuhnya terdapat
clitellum yang dibentuk oleh beberapa segmen berdekatan yang mengalami
penebalan. Di dalam clitellum berisi berbagai macam kelenjar atau lendir. Kepalanya kecil dan tidak mempunyai alat
peraba. Selain itu juga ditemukan bahwa
tubuh cacing tanah selalu lembab, dikarenakan cacing ini menggunakan seluruh
permukaan tubuhnya untuk bernapas.
V.
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik dari praktikum ini yaitu :
- Pada cacing laut (Nereis
sp), morfologinya terdiri atas segmen-segmen yang berbulu (setae) dan tiap
segmen terdapat sepasang parapodia.
Menyerupai ulat bulu tetapi lebih panjang dan kecil, umumnya antara 5-10
cm.
- Pada cacing tanah (L.
terrestris), morfologinya bersegmen-segmen, selalu lembab dan mengandung
lendir serta mempunyai clitellum pada segmen tertentu.
- Nilai ekonomis annelida yaitu sebagai bahan makanan
seperti cacing wawo dan cacing palolo. Cacing
polychaeta merupakan makanan alami yang baik bagi udang windu. Jenis-jenis sabellidae dan serpulidae seperti
Sabella pavonina dan Spirografis spalanzani terkenal
keindahannya, berbentuk seperti bunga gerbra dengan warna seperti bulu merak,
diperdagangkan untuk aquarium laut. Cacing dari kelas hirudinae yaitu Hirudo medicinalis digunakan pada
pengobatan tradisional untuk menyembuhkan bengkak, serta memar dan bengkak pada
sakit gigi.
5.2. Saran
Pada praktikum di tahun-tahun mendatang, sebaiknya bahan
pada praktikum laboratorium didasarkan pada bahan yang ditemukan pada saat
praktikum lapangan.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Crustacea mampu hidup di perairan antara lain
disebabkan karena anggota badannya yang bersendi-sendi (bahasa yunani, arthros
berarti sambungan atau sendi) sehingga mudah berjalan atau berenang dengan
cepat. Disamping itu, adanya kulit yang keras (Bahasa romawi, crusta berarti
kulit keras atau kerak), adakalanya tebal dan berduri tidak disukai predator
(Suwignyo, 2005).
Ruas-ruas pembentuk crustacea dapat dibedakan
menjadi kepala, thorax, dan abdomen. Ruas-ruas pembentuk kepela pada semua
crustacean tumbuh menjadi satu, sedangkan penyatuan beberapa ruas thorax atau
ruas abdomen merupakan keadaan biasa. Penyatuan kepala dengan satu, beberapa
atau seluruh thorax disebut cephalothorax, dan biasanya tertutup kerapas
(carapace) di bagian dorsalnya (Sugiarti, 2005).
Sifat umum kelas ini mencakup kerangka luar keras dari kitin, yakni
polosakarida (polysacharida) majemuk, suatu jenis karbohidrat. Cangkang
dihasilkan oleh epidermis, karena
sifatnya yang tak elastis pada saat mengeras maka ia harus ditinggalkan secara
berkala (Suwignyo, 2005).
Sejak tahun 1990 banyak ahli Zoologi yang membagi kelompok Arthropoda
menjadi filum Onycophora, filum Trilobita, filum Chelicerata, filum Uniramia, dan filum Crustacea. Terdapat sekitar 40.000
spesies hewan dari kelas Crustacea
yang mencakup jenis-jenis Cepopoda berupa udang dan kepiting. Pada dasarnya
tubuh Crustacea dapat dibedakan
menjadi kepala, thoraks dan abdomen, tiap ruas tubuh mempunyai sepasang
apendiks (anggota badan) yang berjumlah banyak, namun pada evolusinya terjadi
pengurangan jumlah apendik dan perubahan bentuk susuai fungsinya (Aslan, dkk., 2011).
Berdasarkan uraian diatas, maka perlu
dilakukan praktikum sehingga kita lebih mengetahui secara luas mengenai filum Crustacea serta peranannya dalam
lingkungan masyarakat.
1.2. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan
dari praktikum ini yaitu mengetahui bentuk
morfologi dan anatomi serta bagian-bagian dari Crustacea, dapat mengklasifikasikan filum Crustacea dan membedakan jantan dan betina.
Manfaat dari praktikum ini adalah agar mahasiswa mendapatkan
gambaran tentang morfologi dan anatomi dari spesies filum Crustacea, serta penjelasan
mengenai manfaat dari organisme ini.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi
Klasifikasi Udang Windu (Panaeus monodon), menurut suwignyo (2005) adalah sebagai
berikut
Kingdom : animalia
filum : crustacea
Kelas
: decapoda
Ordo
: calanoida
Famili
: peneidae
Genus
: panaeus
Spesies
: panaeus monodon
(Sumber
: Dokumentasi pribadi, 2011)
Gambar
28. Morfologi udang windu (panaeus
monodon)
Klasifikasi Udang Putih (Panaeus marguensis) menurut Sugiarti (2005) adalah sebagi
berikut:
Kingdom : animalia
filum : crustacea
Kelas
: malacostraca
Ordo
: syncarida
Famili
: peneidae
Genus
: panaeus
Spesies
: panaeus
marguensis
(Sumber : Dokumentasi pribadi, 2011)
Gambar 29. Morfologi udang putih (Panaeus marguensis)
Klasifikasi
Kepiting Bakau (Scylla serrata),
menurut Romimohtarto (2007), adalah sebagai berikut:
Kingdom : animalia
Filum : crustacea
Kelas
: malacostraca
Ordo
: syncarida
Famili
: scyllanidae
Genus
: scylla
Spesies
: scylla
serrata
(Sumber : Dokumentasi pribadi, 2011)
Gambar 30. Morfologi Kepiting Bakau (Scylla serrata)
Klasifikasi Kepiting Rajungan (Portunus pelagicus)
menurut Suwignyo (2005) adalah sebagai berikut:
Kingdom : animalia
filum : crustacea
Kelas
: cirripedia
Ordo
: rhizochepala
Famili
: portunidae
Genus
: portunus
Spesies : portunus pelagicus
(Sumber
: Dokumentasi pribadi, 2011)
Gambar 31. Morfologi Kepiting Rajungan (Portunus pelagicus)
Seorang ahli
bernama Patasik (2004) mengklasifikasikan lobster , adalah sebagai berikut:
Filum : Arthropoda
Sub filum : Mandibulata
Kelas : Crustacea
Sub kelas : Malacostraca
Seri : Eumalacostraca
Super ordo : Eucarida
Ordo : Decapoda
Sub ordo : Reptantia
Famili : Parastacidae
Genus : Panulirus
Spesies : Panulirus spp.
Filum : Arthropoda
Sub filum : Mandibulata
Kelas : Crustacea
Sub kelas : Malacostraca
Seri : Eumalacostraca
Super ordo : Eucarida
Ordo : Decapoda
Sub ordo : Reptantia
Famili : Parastacidae
Genus : Panulirus
Spesies : Panulirus spp.
(Sumber : Dokumentasi pribadi, 2011)
Gambar
32 . Morfologi lobster (Panulirus
spp.)
2.2. Morfologi dan Anatomi
Spesies udang windu (panaeus monodon) yakni
tubuh udang windu dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian kepala dan
bagian badan. Bagian kepala menyatu dengan bagian dada disebut cephalothorax
yang terdiri dari 13 ruas, yaitu 5 ruas di bagian kepala dan 8 ruas di bagian
dada. Bagian badan dan abdomen terdiri dari 6 ruas, tiap-tiap ruas (segmen)
mempunyai sepasang anggota badan (kaki renang) yang beruas-ruas pula. Pada
ujung ruas keenam terdapat ekor kipas 4 lembar dan satu telson yang berbentuk
runcing (Suwignyo, 2011).
Spesies udang putih (Panaeus marguensis) Bagian
kepala dilindungi oleh cangkang kepala atau Carapace. Bagian depan meruncing
dan melengkung membentuk huruf S yang disebut cucuk kepala atau rostrum. Pada
bagian atas rostrum terdapat 7 gerigi dan bagian bawahnya 3 gerigi (Suwignyo, 2011).
Kepiting bakau (Scylla serata) memiliki
kerapaks berwarna seperti lumpur dan sedikit kehijauan. Panjang karapaksnya
hampir semua licin kecuali pada beberapa tehnik bergranula (berbentuk kasar). Ukuran kepiting
yang ada di alam bervariasi tergantung wilayah dan musim. Misalnya, diperairan
bakau Ujung Alang, Cilacap, terdapat kepiting dengan kisaran panjang karapas (
kerangka luar ) 18,80mm – 142,40 mm. Sedangkan di perairan bakau Segara Anakan,
Cilacap, didapatkan kepiting dengan kisaran panjang karapas 19,20 mm – 116,70
mm. (Soim, 1994 dalam Tomu 2000).
Spesis Portunus pelagicus
memiliki karapas berbentuk bulat pipih, sebelah kiri-kanan mata terdapat duri
sembilan buah, dimana duri yang terakhir berukuran lebih panjang. Rajungan
mempunyai 5 pasang kaki yang terdiri atas 1 pasang kaki (capit) berfungsi
sebagai pemegang, 3 kaki sebagai kaki jalan, dan 1 pasang kaki berfungsi
sebagai dayung untuk berenang. Nontji (2007) menyatakan rajungan mempunyai 5 pasang kaki jalan,
dimana kaki jalan pertama berukuran besar (DKP, 2007).
2.3. Habitat dan Penyebaran
Udang putih (Panaeus merguensis) dari
keseluruhan siklus hidupnya melewati 4 tingkatan dengan berganti kulit sebanyak
18-22 kali, dan mengalami 4 kali perubahan bentukl yang melalui beberapa
lingkungan yang berbeda yaitu larva, juvenil (udang muda), immatur (betina
belum dewasa) dan mature (dawasa). Pada tingkatan larva mulai dari fase
naufliur sampai paska larva siklus hidupnya bermigrasi dari daerah laut lepas
bergerak menuju daerah estuari, pada tingkatan estuari menuju laut lepas dan
pada tingkatan dewasa (mature) hidup dan tumbuh di mrenjelang dewasa udang
putih kembali bermigrasi bergerak meninggalkan daerah laut lepas sampai memijah
(Sugiarto, 1979 dalam La Hidi 2002).
Habitat kepiting adalah pada pantai
bersubstrat pasir, berlumpur dan di pulau berkarang, juga berenang dari dekat
permukaan laut (sekitar 1 m) sampai kedalaman 50 meter. Kepiting hidup di
daerah estuary kemudian bermigrasi ke perairan yang bersalinitas lebih tinggi
untuk menetaskan telurnya, dan setelah mencapai rajugan muda akan kembali ke
estuary. Banyak menghabiskan hidupnya dengan membenamkan tubuhnya di permukaan
pasir dan hanya menonjolkan matanya untuk menunggu ikan dan jenis invertebrata
lainnya yang mencoba mendekati untuk diserang atau dimangsa (DKP, 2007).
2.4.Makanan dan Kebiasaan
Makan
Sifat makan pada crustacea sangat beraneka ragam, misalnya filter feeder,
pemakan bangkai, herbivora, karnifora atau parasit. Filter feeder (penyaring
makanan) mendapatkan makanan dengan cara menyaring plankton, detritus dan
bakteri menggunakan setae, bukan cillia (Suwignyo, 2005).
Crustacea pemakan bangkai, herbivora atau karnivora mempunyai apendik ruas-ruas anterior atau apendiks thoraks yang
berfungsi untuk mencengkeram atau mengambil makanan, serta maksila dan mandibel
yang berfungsi untuk memegang, menggigit dan menggiling makanan. Banyak dari
spesis dari crustacea yang menggunakan lebih dari satu cara makan untuk
mendapatkan makanannya (Aslan, dkk.,
2011).
2.5. Reproduksi dan Daur Hidup
Kebanyakan crustacea mengerami telurnya, adakalanya anpendik tertentu, pada
kantung pengeraman didalam atau diluar tubuh. Pada kebanyakan spesis laut dan
beberapa spesis perairan tawar, telur menetas menjadi larva nauplius yang
planktonis. Nauplius hanya mempunyai tiga pasang apendik yaitu antena pertama,
antena kedua dan mandibel (Suwignyo, 2005).
Kebanyakan crustacea dioeecious, kecuali
cirripedia dan beberapa kelompok lain bersifat hemafrodit. Gonat biasanya
panjang dan sepasang, terletak dibagian dorsal thoraks atau abdomen atau
kedua-duanya. Umumnya terjadi perkawinan (kopulasi), individu jantan biasanya
mempunyai apendik yang mengalami klasifikasi untuk memengang betina, pembuahan
didalam (Aslan, dkk., 2011).
2.6. Nilai Ekonomis
Diantara kelas yang penting dalam filum crustacea adalah copepoda dan malascotracea. Terutama crustacea dan insekta yang mempunyai nilai ekonomi yang besar, sedangkan diantara
arachnoida yang menimbulkan dan menyebabkan penyakit baik pada manusia, pada
hewan dan pada tumbuhan (Suwignyo, 2005).
Populasi rajungan di
alam semakin terancam dengan rusaknya habitat dan
juga eksploitasi oleh nelayan di beberapa daerah sehingga
mengakibatkan rendahnya ketersediaan rajungan di alam. Penangkapan
kepiting rajungan yang berlebih itu tak lepas dari besarnya permintaan untuk
ekspor, antara lain ke Amerika Serikat, Australia, Kanada, dan beberapa negara
Eropa. Permintaan pasar terhadap rajungan yang sangat tinggi harus segera
diatasi dengan melakukan budidaya/akuakultur terhadap spesies yang
dimaksud. Budidaya
(Suwignyo, 2011).
III. METODE PRAKTIKUM
3.1. Waktu dan Tempat
Praktukum Filum Crustacea dilaksanakan pada hari Minggu, tanggal 27 november, pukul 14.00 WITA. Bertempat di Laboratorium C Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Haluoleo, Kendari.
3.2. Alat
dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan pada
Praktikum filum
crustacea dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 6. Alat dan Bahan Yang Digunakan Pada Praktikum Filum Crustacea Beserta Kegunaannya.
No.
|
Alat dan Bahan
|
Kegunaan
|
1.
|
Alat
|
|
|
Baki(Dissecting pan)
|
Untuk meletakkan orgnisme yang diamati.
|
|
Pisau bedah(Scalpel)
|
Untuk membedah/memotong organisme yang diamati.
|
|
Pinset (Forceps)
|
Alat untuk mengangkat bagian-bagian objek.
|
|
Buku identifikasi
|
Untuk mengidentifikasi organisme yang diamati sesuai
dengan buku
|
|
Kain Lap Halus dan
Lap Kasar
|
Untuk mengelap meja setelah praktek selesai
|
2.
|
Bahan
|
|
|
Udang
Putih
(Panaeus merguensis)
|
Organisme/objek yang diamati
|
|
Udang Windu
(Panaeus
monodon)
|
Organisme/objek yang diamati
|
|
Kepiting Bakau
(Scylla serata)
|
Organisme/objek yang diamati
|
|
Kepiting Rajungan
(Portunus pelagicus)
Lobster
(Panulirus spp.)
|
Organisme/objek yang diamati
Organisme/objek yang diamati
|
3.3.
Prosedur Kerja
Prosedur kerja pada
praktikum ini ialah sebagai berikut :
1.
Mengambil organisme
dari Filum Arthropoda di perairan laut kemudian membawanya ke laboratorium.
2.
Mengamati bentuk
morfologi dan anatomi dari organisme tersebut.
3.
Mengambar dan
diberi keterangan gambar dari hasil pengamatan tadi.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Pengamatan
Hasil pengamatan pada praktikum kelas
Crustacea ini adalah sebagai berikut
a. Udang Windu (Penaeus monodon)
Keterangan :
1. Antenula
2.
Antena
3. Mata
4. Kaki
jalan
5. Kaki
renang
6.
Perut
7.
Telson
8. Uropoda
9.
Mandible
10.
Cephalothorax
11. Caudal
Gambar
33. Morfologi Udang Windu (Penaeus
monodon)
b. Udang Putih (Penaeus merguensis)
Keterangan:
1. Antenula
2. Antena
3. Mata
4. Kaki jalan
5. Kaki renang
6. Perut
7. Telson
8. Uropoda
9. Mandible
10.
Cephalothorax
11. Caudal
Gambar
34. Morfologi Udang Putih (Penaeus
merguensis)
c. Kepiting Bakau (Scylla serrata)
Keterangan :
1. Mata
2.
Anterior lateral margin
3.
Daktilus aktif
4.
karapaks
5.
Kaki jalan
6.
Kaki renang
7.
Daktulus pasif
8.
Terior margin
9.
Epibranchial spina
Gambar
35. Morfologi Kepiting Bakau (Scylla serrata)
d. Kepiting Rajungan (Portunus pelagicus)
Keterangan :
1.
Mata
2.
Antenna
3.
Capit
4.
kaki
jalan
5.
kaki
renang
6.
karapaks
7.
Posterior
margin
8.
Daktilus
aktif
9.
Daktilus
pasif
10. Epibranchial
spina
Gambar
36. Morfologi Kepiting Rajungan (Portunus
pelagicus)
e.
Lobster ( Panulirus spp.)
Keterangan
:
1.
Mata
2.
Antenna
3.
Cephalothorax
4.
Kaki
jalan
5.
Kaki renang
6. Abdomen
7. Uropod
8. Cangkang
Gambar 37. Morfologi Lobster (Panulirus
spp.)
4.2. Pembahasan
Pada pengamatan ini kami melakukan pengamatan
pada filum crustacea. Pada filum crustacea ini yang diamati pada kelas decapoda
dan malacostraca. Pada kelas decapoda bahan amatan yang kami amati adalah udang
putih (Panaeus merguensis) dan udang
windu (Panaeus monodon). Pengamatan
yang dilakukan pada praktikum ini adalah filum Crustacea. Pada pengamatan
Kepiting bakau (Scylla serata) dapat diketahui morfologi dan anatominya
yaitu ; dactilus, propondus, basis, mata, Ischium, Merus, Gigi, tarsus,
propondus, kaki renang, dactilus,
karapaks, propondus, kaki jalan. Sedangkan pada pengamatan Kepiting rajungan
(Portunus pelagicus) dapat diketahui morfologi dan anatominya yaitu ; karapaks,
merus, dactilus, movable finger, tarsus, gigi, propondus, epibranchial spine,
posterior margin, kaki jalan, basis, kaki renang.
Pada pengamatan udang windu (Panaeus
monodon) dan udang putih (Panaeus
merguensis) memiliki perbedaan pada bentuk ukuran dimana udang windu lebih
besar sedangkan udang putih lebih kecil. Pada sudut pandang warna, udang windu
berwarna gelap sementara udang putih agak putih bening. Perbedaan antara udang
jantan dan udang betina yaitu terdapat pada alat kelaminnya yang berupa
thelyum. Baik pada udang putih maupun udang windu mereka mempunyai genus yang sama
oleh karena itu sifat dan ciri-ciri kedua spesies hewan ini tidak jauh berbeda
satu sama lainnya. perbedaan yang lain antara udang yang jantan dan betina baik
itu pada udang windu maupun udang putih ialah tempat melekatnya telur (sejenis
abdomen) dimana pada individu jantan tida ada telur yang melekat pada
abdomennya sementara pada individu betina ada, ini terjadi ketika individu
betina dalam keadaan matang gonad.
Pada pengamatan Udang putih (Panaeus
merguensis), dapat diketahui bentuk morfologi dan anatomi yaitu chepalotora, uropod, perut, karapaks, mata majemuk, kaki
jalan, antenulla, kaki renang dan telson. sedangkan pada pengamatan udang windu
(Panaeus monodon), dapat diketahi
bentuk mofologi dan anatomi yaitu chepalotoraks, telson, perut, uropod, mata
majemuk, kaki jalan, antenulla, kaki renang dan karapaks.
Udang putih
memiliki siklus hidup bermigrasi bergantung dari spesies dan stadia/fase dalam
daur hidunya. Kehidupan udang putih di perairan terdiri dari dua fase yaitu
fase laut dan fase muara sungai. Udang putih berkembang setelah megalami empat
kali perubahan.. pada tingkatan mysis mengalami tiga kali ganti kulit an
selanjutnya bermetamorfosa menjadi larva yang kemudian bermigrasi ke pantai dan
cenderung ke estuari. Hal ini sesuai
dengan perkatan Sugiarti (2005) dalam La
Hidi (2002) bahwa Udang putih dari keseluruhan siklus hidupnya melewati empat
tingkatan dan mengalami empat kali perubahan bentuk yang melalui beberapa
tingkatan. Pada tingkatan bermigrasi dari daerah laut lepas bergerak menuju daerah
estuari, pada tingkatan mejelang dewasa udang putih kembai bergerak bermigrasi
meninggalkan daerah estuari menuju laut lepas dan pada tingkatan dewasa(mature)
hidup di laut lepas sampai memijah.
Pada pengamatan kepiting bakau dan rajungan terdapat perbedaan dimana
rajungan (Portnus pelagicus) memiliki
bentuk tubuh yang lebih ramping dengan capit yang lebih panjang dan memiliki
warna pada kerapasnya. Duri akhir pada kedua sisi kerapasnya relative lebih
panjang dan lebih runcing. Rajungan hanya hidup pada lingkungan air laut.
Dengan melihat warna dari kerapas dan bentuk karapaksnya, maka dengan mudah
dapat dibedakan dengan kepiting bakau. Hal ini didukung oleh pendapat Suwignyo
(2005) bahwa rajungan (Portunus pelagicus)
memiliki tempat hidup yang berbeda dengan jenis kepiting bakau (Scylla serata), tetapi memiliki tingkah
laku yang hampir sama. Pada Kepiting bakau (Scylla
serata) memiliki karapaks berwarna seperti lumpur atau sedikit kehijauan.
Panjang karapaksnya hampir sama licin kecuali pada beberapa lekuk bergranula
(berbintik kasar). Kepiting bakau terdapat di perairan payau.
Perbedaan antara kepiting jantan dan betina yaitu pada kepiting jantan
memiliki abdomen yang panjang sementara kepiting betina mempunyai abdomen yang
lebih lebar, abdomen ini merupakan tempat untuk melekatnya telur-telur (ovum)
dari kepiting betina. Telur yang menetas mengeluarkan Zoea. Zoea ini akan
bergerak menuju pantai atau muara sungai untuk mencari perlindungan dan
makanan. Perbedaan selanjutnya ialah badan kepiting betina lebih besar dari
pada kepiting jantan dengan umur yang sama. Ini menandakan bahwa kepiting
betina lebih cepat perkembangannya dari pada kepiting jantan.
Pada pengamatan lobster (Panulirus spp.). Tubuh lobster
terbagi dua bagian, yaitu bagian depan dan bagian belakang. Bagian depan terdiri dari bagian kepala dan
dada. Kedua bagian itu disebut chepaalotorax. Kepala udang ditutupi oleh
cangkang kepala, yang disebut carapace. Kelopak kepala bagian depan disebut
rostrum atau cucuk kepala. Bentuknya runcing dan bergerigi. Kepala lobster
terdiri dari enan ruas. Pada bagian itu terdapat beberapa organ lain. Sepasang
mata berada pada ruas pertama. Kedua mata itu memiliki tangkai dan bisa
bergerak. Pada ruas kedua dan ketiga terdapat sungut kecil, yang disebut antenula,
dan sungut besar yang disebut antena. Bagian belakang terdiri dari badan dan ekor.
Kedua bagian itu disebut abdomen. Pada bagian atas abdomen ditutupi dengan enam
buah kelopak. Sedangkan bagian bawahnya tidak tertutu, tetapi berisi kaki enam
kaki renang. Ekor terdiri dari bagian tengah yang disebut telson, dan bagian
samping yang disebut uropda. Hal
ini didukung oleh Sugiarti (2005) yang menyatakan bahwa tubuh lobster
terbagi dua bagian, yaitu bagian depan dan bagian belakang. Bagian depan terdiri dari bagian kepala dan
dada. Kedua bagian itu disebut chepaalotorax. Kepala udang ditutupi oleh
cangkang kepala, yang disebut carapace atau karapaks. Hal ini didukung oleh
pernyataan Suwignyo (2005) yang menyatakan bahwa tubuh lobster (Panulirus sp.) terbagi dua bagian, yaitu
bagian depan dan bagian belakang. Bagian depan
terdiri dari bagian kepala dan dada. Kedua bagian itu disebut chepaalotorax.
Kepala udang ditutupi oleh cangkang kepala, yang disebut carapace.
filum Crustacea mempunyai arti
ekonomis yang tinggi dimana permintaan pasar saat ini lebih meningkat baik itu
di dalam negeri maupun di luar negeri, hal ini membuat banyak orang khususnya
para nelayan pesisir untuk meningkakan penangkapan guna memenuhi pemintaan
pasar. Spesies ini dapat dikomsumsi sebab memiliki kandungan protein yang
besar.
V. PENUTUP
5.1.Kesimpulan
Dari hasil pengamatan dan pembahasan diatas,
maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
-
Udang
Windu termasuk genus “panaeus” dan
spesis “panaeus monodon”, sedangkan
Udang Putih termaksuk dalam genus
“panaeus” dan spesis “panaeus
merguensis”.
-
Kepiting
Bakau termasuk genus “scyllia” dan spesis “scyllia serata”, sedangkan Kepeting
Rajungan termasuk genus “portunus”
dan spesis “portunus pelagicus”.
-
Perbedaan
antara udang jantan dan udang betina terlihat pada alat kelamin yakni thuruce
pada betina dan petasmo pada jantan.
-
Perbedaan
antara kepiting jantan dan betina ialah dapat dilihat pada bentuk dari abdomen
yang dimiliki, pada kepiting jantan abdomennya terlihat lebih runcing dan kecil
sementara pada kepiting betina terlihat abdomennya lebih besar dan lebih
melebar.
5.2.Saran
Saran yang dapat saya berikan selaku
praktikan yaitu agar materi yang diperaktekkan dapat dijelaskan oleh pembimbing, sehingga
praktikan mendapatkn ilmu mengenai materi yang dipraktekkan.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Termasuk dalam
filum Echinodermata antara lain bintang laut (Asteroidea), teripang laut
(Holothuroidea), bintang ular (Ophiuroidea), dan bulu babi (Echinoidea). Umumnya berukuran besar, yang terkecil
berukuran 1 cm. Terdapat 6.750 spesies
hidup, tetapi keanekaragamannya pada masa kini lebih rendah dibandingkan dengan
jenis-jenis pada era Paleozoikum.
Echinodermata berasal dari bahasa yunani ”echinus” berarti landak, dan
”derma” berarti kulit. Hal ini
disebabkan bulu babi mempunyai duri-duri panjang seperti landak (Suwignyo, dkk., 2005).
Filum ini
dulunya selalu dijadikan satu dengan Coelenterata dalam klasifikasi hewan
karena bentuknya yang simetri meruji.
Kesamaannya hanya pada simetri ini saja yang membedakan dua kelompok
hewan ini dari kelompok-kelompok hewan yang lain. Pada Echinodermata berbentuk simetri meruji
hanya pada dewasa. Pada larva, bentuknya
simetri bilateral. Beda antara keduanya adalah bahwa Echinodermata mempunyai
sistem pencernaan lengkap dengan mulut, usus dan anus, tidak seperti halnya
Coelenterata. Sifat umum selanjutnya
filum ini ialah epidermis hewan dari filum ini biasanya berbulu getar dan
berisi sel-sel indera dan sel-sel kelenjar.
Osikula (ossicle), yakni kerangka berupa lempeng-lempeng kapur dalam dinding
tubuh dapat berjumlah beberapa, kecil dan tersebar luas dan dapat berukuran
besar, jumlahnya besar, kurang lebih tergabung erat menjadi kerangka yang
nyata. Osikula-osikula tertentu biasanya
membentuk duri (Romimohtarto, 2007).
Tidak
dapat kita pungkiri bahwa di masa yang akan datang secara perlahan namun pasti,
pemanfaatan sumber daya hayati laut di Indonesia akan terus mengalami
perkembangan terutama untuk memenuhi kebutuhan pangan, energi, bahan baku,
perluasan tenaga kerja serta peningkatan pendapatan devisa negara. Namun masalah yang dihadapi adalah masih
kurangnya informasi tentang sumber daya laut yang ada saat ini, salah satu
diantaranya adalah fauna echinodermata yang meliputi bintang laut (Asteroidea),
teripang (Holothuridea), bulu babi (Echinoidea) dan bintang ular (Ophiuroidea)
(Laitupa, 2002).
1.2.
Tujuan dan Manfaat
Tujuan praktikum dapat
mengetahui dan membedakan filum Echinodermata yang terbagi dalam kelas
Holothuridea, Asteroidea, Ophiuroidea, Echinoidea dan Crinoidea.
Manfaat praktikum dapat melihat secara
langsung secara morfologi dan anatomi, sebagai bahan masukan untuk menambah
ilmu pengetahuan dan wawasan serta jenis-jenis mengenai filum Echinodemata.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi
Klasifikasi
Teripang Pasir (Holothuria scabra)
menurut Rohani (1998) dalam Sartika
(2002) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum
: Echinodermata
Kelas : Holothuridea
Ordo :
Aspidochirotida
Famili : Aspidochirota
Genus : Holothuria
Spesies : Holothuria scabra
(Sumber : Dokumen Pribadi, 2011)
Gambar 38.
Morfologi Teripang (H. scabra)
Klasifikasi Bintang Laut (Protoreaster nodosus) menurut
Brotowidjoyo (2000), adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Echinodermata
Kelas : Asteroidea
Ordo :
Valvatida
Famili
: Presteridae
Genus
: Protoreaster
Spesies
: Protoreaster nodosus
(Sumber : Dokumen Pribadi, 2011)
Gambar 39. Morfologi Bintang Laut (P. nodosus)
Klasifikasi
Bintang ular (Ophiutricodea nereidina)
menurut Brotowidjoyo (2000) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum
: Echinodermata
Kelas : Ophiuroidea
Ordo : Valvatida
Famili : Ophiutricoidea
Genus : Ophiutricoides
Spesies :
Ophiutricodea nereidina
(Sumber
: Dokumen Pribadi, 2011)
Gambar 40. Morfologi Bintang ular (O.
nereidina)
Klasifikasi
Bulu Babi (Diadema sitosum) menurut
Brotowidjoyo (2000), adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Echinodermata
Class : Echinoidea
Ordo :
Diadematoidea
Famili
: Diadematodaei
Genus
: Diadema
Spesies
: Diadema sitosum
(Sumber
: Dokumen Pribadi, 2011)
Gambar 41.
Morfologi Bulu Babi (D. sitosum)
2.1. Morfologi dan Anatomi
Echinodermata tidak mempunyai kepala,
tubuh tersusun atas sumbu oral aboral. Hewan ini mempunyai kaki ambulakral atau
kaki tabung yang mempunyai fungsi sebagai alat gerak. Echinodermata mempunyai bentuk tubuh simetri
radial 5 penjuru meskipun echinodermata termasuk divisi bilateria. Pada waktu
larva, echinodermata mempunyai bentuk tubuh simetri bilateral, tetapi setelah
dewasa bentuk tubuhnya menjadi simetri radial. Tubuh dari echinodermata
tertutup epidermis tipis yang menyelubungi rangka yang terdiri atas pelat-pelat
kapur yang bisa digerakan atau tidak bisa digerakan. epidermis dilengkapi
dengan tonjolan duri-duri halus dari kapur ( Suwignyo, 2005)
Disebut bintang (P. nodosus) laut karena mempunyai bentuk seperti bintang
pentamerous, dimana kebanyakan spesies mempunyai 5 buah tangan. Permukaan tubuh bintang laut tidak halus
karena bertaburan duri-duri, papula dan pedicellaria. Epidermis dilindungi oleh lapisan kutikula
tipis. Lapisan epidermis mengandung sel
kelenjar lendir yang menghasilkan lendir untuk melindungi tubuh. Sampah atau kotoran yang jatuh pada permukaan
tubuh akan menempel pada lendir, kemudian disapu oleh flagela dari sel epitel. Di bawah epidermis terdapat lapisan tebal
jaringan penghubung dimana terdapat susunan rangka dalam. Beberapa spesies mempunyai tangan kelipatan
5. Diameter rata-rata antara 10-20 cm,
terkecil 1 cm dan terbesar 100 cm sedang mulut terletak di pusat pisin (central
disk) (Suwignyo, dkk., 2005).
Kelas Echinoidea berbentuk bola (sub kelas
regularia) ataupun pipih (sub kelas iregularia), tanpa penjulur
lengan-lengan. Permukaan tubuh hewan
regularia berduri pajang yang dapat digerakkan dan membentuk semacam persendian
pada permukaan cangkang (test). Jalur-jalur meridian pada tubuhnya membentuk
daerah-daerah ambulakral (yang berlubang untuk penjuluran podia) yang
berselang-seling dengan daerah interambulakral (yang tidak berlubang). Hewan
kelas ini mempunyai alat pemakan yang khas, yaitu suatu tembolok yang kompleks
disebut Aristotle’s lantern. Lima
buah jaluran oral yang berfungsi untuk pertukaran gas (Nontji, 2007).
Bintang
ular (O. nereidina) mempunyai bentuk
tubuh seperti uang logam, bundar, dan pipih dengan lengan-lengan yang menjulur
mengelilingi tubuh dan mulut di bagian bawah ke arah lima penjuru.
Lengan-lengan ini digerakan dengan mudah sehingga membantu hewan ini untuk
berjalan dengan cepat bahkan berenang dalam air. Kelima tangan ini juga bisa digerak-gerakkan
sehingga menyerupai ular. Mulut dan madreporit
dari hewan ini terdapat di permukaan oral. Hewan ini tidak mempunyai anus,
sehingga sisa makanan atau kotorannya dikeluarkan dengan cara dimuntahkan
melalui mulutnya (Kimball, 2000).
Teripang
(H. scabra) hewan ini mempunyai mulut
yang letaknya di ujung anterior dan anus terletak pada ujung posterior. Pada
sekeliling mulut mempunyai tentakel yang mempunyai cabang yang berjumlah
sebanyak 10 hingga 30 buah. Di bawah
kulit terdapat dermis yang mengandung osikula, selapis otot melingkar, dan 5
otot ganda yang memanjang. Dengan adanya lengan otot ini sehingga
memudahkanhewan ini untuk dapat bergerak memanjang ataupun memendek seperti
halnya cacing. Hewan mempunyai bentuk
tubuh yang memanjang menyerupai ketimun. Hewan ini mempunyai kulit duri yang
sangat halus dan tidak mempunyai lengan. Rangka dari hewan ini direduksi berupa
butir-butir kapur di dalam kulit. (Suwignyo, dkk., 2005).
Bulu babi (D. sitosum) mempunyai bentuk tubuh bulat atau pipih bundar, tidak
mempunyai tangan, dan mempunyai duri-duri panjang yang dapat digerakan.
Diantara duri-duri tersebar pedicellaria dengan 3 gigi. Kebanyakan mempunyai
dua macam duri yaitu duri yang panjang dan duri yang pendek. mulut terletak
didaerah oral dan dilengkapi lima gigi yang tajam dan kuat yang fungsinya untuk
mengunyah (Nontji, 2007).
2.2. Habitat dan Penyebaran
Semua jenis echinodermata hidup di laut,
mulai daerah litoral sampai kedalaman 6.000 m. daerah indopasifik terutama
sekitar pulau-pulau Fhilipina, Kalimantan dan Irian merupakan daerah kaya akan
berbagai jenis lili laut, timun laut dan bintang ular. Hewan
ini biasanya hidup di pantai dan di dalam laut sampai kedalaman sekitar 366 m.
Sebagian hidup bebas, hanya gerakannya lamban, hewan ini tidak ada yang
parasit. Ada sekitar 5.300 jenis echinodermata yang sudah
dikenal manusia. Jumlahnya amat banyak, karena musuh hewan ini hanya sedikit (Aslan,
dkk., 2011).
Teripang (H. scabra) biasanya hidup dengan bersembunyi dalam lubang atau
celah batu dan oral atau juga dengan membenamkan diri dalam lumpur atau pasir
laut dan hanya bagian posterior yang tampak. umumnya hewan ini aktif mencari
makan pada malam hari. Hewan ini rentan
dengan kodisi lingkungan dan hidup di tempat terlindung atau air tenang, di
perairan pantai pada kubangan pasut dan dibalik batu atau memendam pada dasar
lunak ( Nontji, 2007).
Habitat bintang
laut pada umumnya terdapat di terumbu karang, terutama di lereng terumbu pada
kejelukan 2-6 meter. Ada yang ditemukan di paparan terumbu yang terbuka pada
saat air surut dan ada yang ditemukan di terumbu karang hidup pada kejelukan 33
m. Untuk bintang laut jenis P. nodusus habitatnya
berada di pantai berpasir (Nontji, 2007).
Bulu babi jenis (D.
sitosum) banyak dijumpai di dasar
pasir dan terumbu karang, dengan daerah sebaran di perairan Indonesia dan
sekitarnya (kawasan Indo-Pasifik Barat) bulu babi jenis ini terdapat pada batu
dan lumpur pantai sampai kedalaman 5000 meter, bergerak dengan duri-duri dan
kaki tabung (Nontji, 2007).
Habitat
dari bintang ular (O. nereidina)
adalah daerah pantai atau dasar laut yang tidak terlalu dalam. Bintang ular (O. nereidina) hidup di laut yang dalam,
biasanya bersembunyi dibawah rumput laut, batu karang, di pasir, atau lumpur.
Hewan ini mempunyai sifat nocturnal yaitu aktif pada malam hari (Romimohtarto, 2007).
2.3. Reproduksi dan Daur Hidup
Echinodermata
mempunyai kelamin terpisah antara jantan
dan betina. Fertilisasi terjadi di luar tubuh, yaitu
pada kolom air laut. Telur yang telah dibuahi akan membelah secara cepat
menghasilkan blastula, dan selanjutnya berkembang menjadi gastrula. Gastrula ini berkembang
menjadi larva, larva atau disebut juga bipinnaria
berbentuk bilateral simetri. Larva ini berenang bebas didalam air mencari
tempat yang cocok hingga menjadi branchidaria,
lalu mengalami metamorfosis dan akhirnya menjadi dewasa. Setelah dewasa bentuk
tubuhnya berubah menjadi radial simetri (Brotowidjoyo, 2000).
Beberapa
jenis asteroidea melakukan reproduksi aseksual dengan pembelahan, yang disebut Fissiparty artinya membelah dengan jalan
fission. Diawali dengan penyekatan pisin pusat menjadi 2 bagian, kemudian
memisah, dan masing-masing melengkapi bagian tubuhnya. Linckia terdapat banyak
di Samudera Pasifik, mampu melepaskan tangan-tangannya pada pangkal dekat pisin
pusat dan tangan-tangan baru, disebut komet karena bentuknya seperti komet (Suwignyo,
dkk., 2005).
Bintang ular (O. nereidina) mempunyai jenis kelamin yang terpisah. Hewan ini
melepaskan sel kelamin ke air dan hasil pembuahannya akan tumbuh menjadi larva
mikroskopis yang mempunyai lengan yang bersilia disebut pluteus. Selanjutnya
Pluteus akan mengalami metamorfosis menjadi bentuk seperti bintang laut dan
akhirnya menjadi bintang ular (Nontji, 2007).
Pada bulu
babi (D. sitosum) reproduksi terjadi
secara seksual, dioceous, dan pembuahan di luar. Telur menetas menjadi larva
echinopletus yang simetri bilateral, sudah mulai makan, hidup sebagai plankton
untuk beberapa bulan, kemudian turun ke substrat dan mengalami metamorfosa
menjadi simetri radial, berukuran sekitar 1 mm dan hidup sebagai benthos. Bulu
babi dapat mencapai umur 30 tahun
(Aslan, dkk., 2011).
Bintang laut (P. nodosus) umumnya bersifat dioeceous, mempunyai lima pasang gonad
pada tiap tangan. Alat reproduksinya
bercabang-cabang yang letaknya terdapat pada setiap lengan. Telur dan sperma dilepas ke air dan pembuahan
terjadi di luar, dua hari kemudian menjadi blastula yang berenang bebas dan
masih simetris bilateral (Romimohtarto, 2007).
Teripang
(H. scabra) mempunyai alat reproduksi
yang umumnya terpisah, kecuali beberapa
jenis, ada yang hermafrodit. Gonad hanya
sebuah yang mempunyai bentuk bercabang-cabang yang menyatu di bagian pangkalnya
menjadi sebuah gonoduct. Sel telur
maupun sperma dikeluarkan ke air laut, dan selanjutnya terjadi fertilisasi yang
menghasilkan zigot. Zigot tumbuh menjadi larva aurikularia (Brotowidjoyo,
2000).
2.5. Makanan
dan Kebiasaan Makan
Umumnya
filum Echinodermata memakan ganggang, hewan sessil dan bangkai dan beberapa
jenis makanan detritus. Makanan bintang laut berupa ikan, tiram, kerang, keong,
cacing, Crustacea dan lain-lain. Sejumlah bintang laut dapat menjulurkan
sebagian perutnya keluar mulut. Jika
mereka mendapatkan kerang yang sebagian terbuka maka sebagian perutnya
dijulurakn keluar mulut ke dalam kerang dan mencernakan isi kerang itu. Yang lain meletakan bagian perut ini pada
kerang dan mencernakan hewan kerang langsung dari rumahnya (Romimohtarto,
2007).
Bulu babi
memakan ganggang, hewan sesile dan bangkai, beberapa jenis memakan
detritus. Jenis echinoid yang irregular
merupakan deposit feeder dengan memanfaatkan bahan organik yang terdapat dalam
lubang tempat tinggalnya (Suwignyo, dkk.,
2005).
Teripang (H. scabra) mempunyai makanan berupa bahan organic yang terdapat
dalam sampah substrat atau plankton yang melekat pada lendir tentakel. Satu per
satu tentakel di masukan kedalam pharink, dan saat tentakel ditarik keluar maka
butir-butir makanan yang menempel pada lendir tentakel disapu, dan kemudian
ditelan (Suwignyo, dkk., 2005).
Bintang
ular (O. nereidina) merupakan
suspension feeder, beberapa sebagai filter feeder, atau deposit feeder, dan
scavenger. makananannya terdiri atas sebangsa siput (keong), bangsa udang
udangan, mollusca, dan crustacea kecil
(Suwignyo, dkk., 2005).
2.6.
Nilai
Ekonomis
Beberapa spesies bintang laut dan
bintang ular memiliki bentuk dan warna tertentu dijadikan sebagai hiasan pada
akuarium. Spesies Acanster planci terkenal sebagai pemakan hewan karang
(Romimohtarto, 2007).
Bulu babi (D. sitosum) dapat dimanfaatkan sebagai
bahan makanan. Yang dimakan adalah organ
reproduksi atau gonadnya yang dalam bahasa sehari-hari disebut ”telur bulu
babi”. Telur bulu babi dapat dimakan
mentah maupun dimasak dulu. Kadar proteinnya lebih tinggi daripada kadar
protein daging kerang. Di Jepang
terkenal makanan yang disebut sushi
yang menggunakan telur bulu babi. Untuk
memenuhi permintaan di dalam negerinya, Jepang sampai mengimpor telur bulu babi
dari luar negeri. Jenis-jenis yang
potensial untuk diusahakan antara lain Diadema
sitosum, Echinometra mathei,
Echinothrix calamaris., Salmacis sp.
(Nontji, 2007).
Teripang (H. scabra) merupakan salah satu komoditas perikanan yang mempunyai
prospek cukup baik dan bernilai ekonomis tinggi, baik pasar lokal maupun
internasional. Sebagai salah satu sumber daya hayati perairan pantai, Teripang
(Holothuria scabra) mengandung
nutrisi yang sangat tinggi. Berdasarkan hasil penelitian kandungan bahan yang
terkandung dalam teripang (Holothuria
scabra) dalam kondisi kering adalah
protein 82 %, lemak 1,7 %, kadar air 8,9 %, kadar abu 8,6 % dan karbohidrat 4,8
% ( Saktiyono, 2005).
III. METODE
PRAKTIKUM
3.1. Waktu dan Tempat
Praktikum
ini dilaksanakan pada hari Sabtu, Tanggal 3 Desember 2011, Pukul 14.00 WITA
sampai selesai dan bertempat di Laboratorium Dasar Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Universitas Haluoleo Kendari.
3.2. Alat dan Bahan
Alat
yang digunakan dalam praktikum Echinodermata dapat di lihat pada Tabel berikut:
Tabel 7. Alat dan Bahan beserta kegunaanya
No. Alat dan Bahan
Kegunaan
1.
Alat :
-
Baki (Dissecting-pan) Wadah menyimpan
objek
-
Pinset (forceps) Alat
mengambil bahan
2. Bahan :
-
Taripang (H. scabra) Obyek yang
diamati
- Bintang laut (P. nodosus) Obyek yang diamati
- Bintang ular (O. nereidina) Obyek yang diamati
- Bulu babi (D. sitosum) Obyek yang diamati
3.3. Prosedur Kerja
Prosedur kerja pada praktikum
ini yaitu sebagai berikut :
-
Mengumpulkan
organisme laut yang termasuk dalam kelas Holothuridea, Asteroidea, Ophiuroidea,
Echinoidea dan Crinoidea.
-
Melakukan
pengamatan secara morfologi dan anatomi.
-
Menggambar
organisme tersebut dan melengkapi dengan bagian-bagiannya berdasarkan hasil
pengamatan.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Pengamatan
Hasil pengamatan pada praktikum ini adalah sebagai
berikut :
1.Pengamatan
pada Teripang Pasir (H. scabra)
Keterangan :
1.
Anterior
2.
Tentakel
3.
Posterior
4.
Anus
5.
Perut
Gambar 42. Morfologi Teripang Pasir (H. scabra)
Keterangan:
1.
Rectum
2.
Respirotory
tree
3.
Gonad
4.
Madreporic
body
5.
Feeding
Tentacle
6.
Mulut
7.
Paleareow
ring
8.
Ampulla of tentacle
9.
Ring
canal
10. Polian vesicle
11. Ampulla of tube
foot
12. Cuverian tubule
13. Terminal
tentakel
14. anus
Gambar
43. Anatomi Teripang (Holothuria scabra)
2.Pengamatan pada Bintang Laut (P. nodosus)
a. Tampak Dorsal
Keterangan :
1.
Papila
2.
Anus
3.
Madreporid
4.
Lengan
Gambar
44. Morfologi Bintang Laut (P. nodosus)
tampak dorsal
b.Tampak
ventral
Keterangan
:
1. Kaki
tabung
2. Mulut
Gambar
45. Morfologi Bintang Laut (P. nodosus)
tampak ventral
3. Pengamatan pada Bintang ular ( O. nereidina)
a.
Tampak dorsal
Keterangan
:
1. Spines
2. Madreporit
3. Bursal slits
4. Mulut
5. Podial pules
Gambar
46. Morfologi Bintang ular ( O. nereidina)
tampak dorsal
b. Tampak ventral
Keterangan:
1.
Lengan/
tentakel
2.
Madreporit
Gambar
47. Morfologi Bintang ular ( O. nereidina)
tampak ventral
4. Pengamatan Bulu babi ( D. sitosum)
- Tampak dorsal
Keterangan
:
1.
Mulut
2.
Kaki
tabung
3.
Ambulakral
4.
Test
Gambar 48. Morfologi
Bulu babi ( D. sitosum)
- Anatomi Bulu Babi (D. sitosum)
Keterangan
:
1. Axial
organ
2. Test
3. Esophagus
4. siphon
5. stone
caral
6. periproct
7. Anus
8. Genital pore
9. stomach
10.
madreporite
11.
Tube feet
12. Radial canal
13.
Nerve ring
Gambar 49. Anatomi Bulu
babi ( D. sitosum)
4.2. Pembahasan
Pengamatan
pada bintang laut (P. nodosus) hewan
ini mempunyai lengan sebanyak 5 buah, mulut terdapat dibawah sedangkan anus
terdapat di bagian atas. Permukaan yang
ditempati mulut tersebut disebut permukaan oral sedangkan permukaan yang
ditempati anus disebut permukaan aboral.
Alat geraknya adalah podia dan terdapat banyak kaki-kaki amburakral di
sepanjang lengannya dan pada ujung-ujung lengan terdapat titik mata, terdapat
pula duri-duri yang berbentuk catut yang berfungsi untuk membersihkan tubuhnya
dari benda-benda asing dan untuk melindungi papilla. Bagian aboral terdapat
duri-duri yang berfungsi sebagai tempat keluar-masuknya air (madreporit). Pada
anus terdapat dua saluran yaitu saluran makanan dan saluran reproduksi. Pada
waktu tertentu hewan ini dapat menjulurkan lambungnya keluar untuk memangsa
makanannya yang berukuran besar serta hewan ini dapat beregenerasi dengan
mudah. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Suwignyo, dkk., (2005) bahwa biasanya
disebut bintang laut karena mempunyai bentuk seperti bintang pentamerous,
dimana kebanyakan spesies mempunyai 5 buah tangan. Beberapa spesies mempunyai tangan kelipatan
5. Diameter rata-rata antara 10-20 cm,
terkecil 1 cm dan terbesar 100 cm. Mulut
terletak di pusat pisin (central disk).
Seluruh permukaan pisin pusat dan tangan terdapat lekukan
memanjang. Pada tiap lekukkan terdapat
2-4 deret kaki tabung. Pada tiap ujung
tangan terdapat tentakel dengan bintik pigmen merah. Anus (kalau ada) terdapat ditengah-tengah pisin
aboral, dimana juga terdapat madreporit. Permukaan tubuh bintang laut tidak
halus karena bertaburan duri-duri, papula (dermal branchia) dan
pedicellaria. Epidermis dilindungi oleh
lapisan kutikula tipis. Lapisan epidermis mengandung sel kelenjar lendir yang
menghasilkan lendir untuk melindungi tubuh. Sampah atau kotoran yang jatuh pada
permukaan tubuh akan menempel pada lendir, kemudian disapu oleh flagela dari
sel epitel.
Pengamatan pada bintang ular (O. nereidina) di mana diketahui hewan
ini mempunyai lengan yang panjang sebanyak lima buah. Pada bagian oral terdapat madreporit dan
hewan ini tidak memiliki anus.
Lengan-lengannya bersifat lentur sehingga dapat membantu proses
pergerakannya di dalam air. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Aslan (2011) yang mengatakan bahwa hewan ini mempunyai
batas jelas terhadap cakram pusatnya.
Cakram pusatnya pipih dengan permukaan aboral ada yang halus, bergranla
dan dapat ditutupi lempengan-lempengan berkapur. Lengan-lengan hewan ophiuroidea panjang dan
langsing berfungsi untuk pergerakan.
Pengamatan
pada bulu babi (D. sitosum) dimana
diketahui bahwa morfologi tubuhnya berbentuk bulat dan datar, menyerupai oval
(setengah bola) dengan cangkang keras berkapur dengan dipenuhi dengan duri-duri
yang panjang berwarna hitam yang rapuh dan tidak mempunyai lengan sebagaimana
bintang laut, pada permukaan tubuhnya terdapat duri yang menyerupai jarum.
Hewan ini memiliki alat untuk bergerak yang disebut kaki tabung (tube feel) yang mencuat di antara
duri-duri tubuhnya pada sisi oral. Pada
bagian oral ditemukan adanya gigi yang disebut “lantera aritotle’s’ yang
berguna untuk mencari atau mengoyak mangsanya, sedangkan pada bagian aboral
ditemukan adanya anus yang berguna untuk proses pengeluaran. Pernyataan ini
didukung oleh Suwignyo (2005) bahwa kelas
Echinoidea berbentuk bola (sub kelas regularia) ataupun pipih (sub kelas
iregularia), tanpa penjulur lengan-lengan. Permukaan tubuh hewan regularia
berduri pajang yang dapat digerakkan dan membentuk semacam persendian pada
permukaan cangkang (test). Jalur-jalur meridian pada tubuhnya membentuk
daerah-daerah ambulakral (yang berlubang untuk penjuluran podia) yang
berselang-seling dengan daerah interambulakral (yang tidak berlubang). Hewan
kelas ini mempunyai alat pemakan yang khas, yaitu suatu tembolok yang kompleks
disebut (Aristotle’s lantern). Lima buah
jaluran oral yang berfungsi untuk pertukaran gas.
Pengamatan pada teripang (H. scabra) hewan ini merupakan salah
satu hewan kelas echinodermata yang semuanya hidup di laut. Bentuk tubuh dari anggota kelas ini tidak
berlengan,lembek, mulut dan anus berada di daerah yang berlawanan. Mulut dikelilingi oleh tentakel dan di bagian
tubuhnya terdapat kaki tabung yangberfungsi sebagai alat gerak. Tubuh taripang memanjang dan diseluruh
tubuhnya terdapat duri-duri yang tersusun dari zat kapur. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Sartika (2002) yang menjelaskan bahwa taripang merupakan salah satu
dari kelas echinodermata atau binatang berkulit duri yang semua hidup di laut
dan sebagian besar sebagai organisme penghuni dasar perairan. Tubuh taripang
umumnya lembek, berotot, memanjang, serta mulut dan anus berada di arah yang
berlawanan. Mulut dikelilingi oleh sejumlah tentakel atau lengan-lengan peraba
yang berjumlah antara 5-30 buah, tersusun di dalam satu lingkaran atau lebih. Bentuk
tentakelnya ada yang seperti pohon bercabang-cabang atau seperti perisai.
Pada umumnya
echinodermata mempunyai kelamin
terpisah antara jantan dan betina. Fertilisasi terjadi di luar tubuh, yaitu
pada kolom air laut. Telur yang telah
dibuahi akan membelah secara cepat menghasilkan blastula, dan
selanjutnya berkembang menjadi gastrula.
Gastrula ini
berkembang menjadi larva, larva atau disebut juga bipinnaria berbentuk bilateral simetri. Larva ini berenang bebas didalam air mencari
tempat yang cocok hingga menjadi branchidaria,
lalu mengalami metamorfosis dan akhirnya menjadi dewasa. Setelah dewasa bentuk
tubuhnya berubah menjadi radial simetri. Brotowidjoyo (2000) mendukung
pernyataan ini dimana telah dijelaskan umumnya echinodermata mempunyai kelamin terpisah antara jantan
dan betina. Fertilisasi terjadi di luar tubuh, yaitu pada kolom air
laut. Telur yang telah dibuahi akan
membelah secara cepat menghasilkan blastula, dan selanjutnya berkembang
menjadi gastrula. Gastrula ini
berkembang menjadi larva, larva atau disebut juga bipinnaria berbentuk bilateral simetri. Larva ini berenang bebas
didalam air mencari tempat yang cocok hingga menjadi branchidaria, lalu mengalami metamorfosis dan akhirnya menjadi
dewasa. Setelah dewasa bentuk tubuhnya
berubah menjadi radial simetri.
Filum
Echinodermata memakan ganggang, hewan sessil dan bangkai dan beberapa jenis
makanan detritus. Makanan bintang laut
berupa ikan, tiram, kerang, keong, cacing, Crustacea dan lain-lain. Sejumlah bintang laut dapat menjulurkan
sebagian perutnya keluar mulut. Jika
mereka mendapatkan kerang yang sebagian terbuka maka sebagian perutnya
dijulurakn keluar mulut ke dalam kerang dan mencernakan isi kerang itu, yang
lain meletakan bagian perut ini pada kerang dan mencernakan hewan kerang
langsung dari rumahnya. Pernyataan tersebut di dukung oleh Romimohtarto (2007) yang menjelaskan bahwa
filum Echinodermata memakan ganggang, hewan sessil dan bangkai dan beberapa
jenis makanan detritus. Makanan bintang laut berupa ikan, tiram, kerang, keong,
cacing, Crustacea dan lain-lain.
Sejumlah bintang laut dapat menjulurkan sebagian perutnya keluar mulut. Jika mereka mendapatkan kerang yang sebagian
terbuka maka sebagian perutnya dijulurakn keluar mulut ke dalam kerang dan
mencernakan isi kerang itu.
Secara
umum echinodermata ada yang menguntungkan dan ada juga yang merugikan.
Menguntungkan bagi manusia adalah bintang laut karena banyak digunakan sebagai
hiasan tetapi penangkapan besar-besaran bintang laut ini akan punah.memiliki. Teripang
mempunyai nilai ekonomis bagi manusia, bila dikeringkan dapat dijadikan kerupuk
atau sup. Bulu babi bemamfaat untuk dikomsumsi dan memiliki protein tinngi.
Hewan bintang laut dapat merugikan dalam rangka pembenihan mutiara karena akan
memakan kerang. Pernyataan ini didukung
oleh Aslan (2011) yang menjelaskan bahwa filum echinodermata ada yang
menguntungkan dan ada juga yang merugikan. Menguntungkan bagi manusia adalah bintang
laut karena banyak digunakan sebagai hiasan tetapi penangkapan besar-besaran
bintang laut ini akan punah.memiliki. Teripang mempunyai nilai ekonomis bagi
manusia, bila dikeringkan dapat dijadikan kerupuk atau sup. Bulu babi bemamfaat
untuk dikomsumsi dan memiliki protein tinngi. Hewan bintang laut dapat
merugikan dalam rangka pembenihan mutiara karena akan memakan kerang.
V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan dari hasil pengamatan yang telah dilakukan,
dapat disimpulkan sebagai berikut :
-
Morfologi
bulu babi (D. sitosum) yang berbentuk
seperti bola dengan cangkang keras dari zat kapur yang ditutupi oleh duri-duri
yang memanjang dan berwarna hitam.
-
Morfologi
binatang laut (P. nodosus) yang
memiliki lima lengan dan pada permukaan tubuhnya terdapat duri yang disebut
pappila dengan mulut di bagian anus dan oral dibagian oboralya.
-
Morfologi
binatang ular (O. nereidina) memiliki
lima lengan yang panjang digunakan untuk pergerakan dan dibantu oleh kaki
ambulakralya.
-
Morfologi
teripang (H. scabra) mempunyai tubuh
seperti sosis dan berlendir dengan mulut yang dikelilingi oleh tentakel
dibagian anterior dan anus dibagian posteriorya.
5.2. Saran
Saran
yang dapat saya berikan untuk praktikum ini adalah agar praktikum
mendatang dapat dilakukan dengan lebih
baik lagi dari pada praktikum sekarang ini. Serta ucapan terima kasih kepada
asisten pembimbing yang terus membimbing kita sampai akhir praktikum.
DAFTAR
PUSTAKA
Amir.
I dan Budiyanto., 1996. Oseana.Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.Lipi.
Jakarta. 31 Hal.
Aslan.Iba W. Kamri S. Subhan. Purnama F.M.
Jaya I. Rahmansyah. Saputra R. Tiar S. Mulyani Tri. Kasendri R.A. Zhuriani. dan
Rauf R.A., 2011. Penuntun Praktikum Avertebrata Air.
Universitas Haluoleo. Kendari. 25 Hal.
Brotowidjiyo, 2000. Zoologi Dasar. Erlangga. Jakarta. 99 Hal.
Dharma.
B., 2000. Siput dan Kerang Indonesia I. Sarana Graha. Jakarta. 112 Hal.
DKP, 2007. Perkembangan Perekonomian Pesisir. DKP
Library. Jakarta. 15 Hal.
Elisnawaty, 2001. Studi kondisi terumbu karang
berdasarkan distribusi jenis ikan kepe- kepe (Famili chaetodontidae) sebagai
bioindikator diperairan pulau barrang lompo. Sulawesi selatan. Universitas Haluoleo. Kendari. 66 Hal.
Erifina, 2007.
Studi Kepadatan dan Distribusi Kerang Lentera (Lingula unguis) Diperairan Pantai Desa Tani Indah Kecamatan
Bondoala Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara. Universitas Haluoleo. Kendari. 46 Hal.
Hamzah, 2002. Apa Dan Mengapa Ubur-Ubur. Yudhis Tira. IPB. Bogor. 22 Hal.
Hari. H., 2008. Materi Perkuliahan Avertebrata
Air Pokok Bahasan Filum Porifera.
FPIK Unhalu. Kendari.10 Hal.
Kikie, 2006. Hewan Invertebrata Air. UGM. Jogjakarta. 126 Hal.
Kimball.
j.w., 2000. Biologi. Erlangga. Jakarta. 216 Hal.
La Hidi. 2002. Studi Habitat Udang Putih (Panaeus merguensis) Sekitar Muara Sungai Wasolangka Kabupaten Muna.
Sulawesi Tenggara. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Haluoleo.
Kendari. 36 Hal.
Laitupa.
O. P., 2002. Struktur Komunitas Fauna
Echinodermata Pada Daerah Sub Litoral Desa Sorue jaya Kecamatan Soropia
Kabupaten Kendari. Fakultas Perikanan
dan Ilmu Kelautan. Universitas
Haluoleo. Kendari. 56 Hal.
Mudjiono dan Suparman. M., 2000. Oceana Majalah Ilmiah
Semi Populer Lembaga Ilmiah Penelitian Pengetahuan Indonesia. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Oceanologi. Jakarta. 36 Hal.
Nawangsari, 2000. Zoologi. Erlangga. Jakarta. 89 Hal
Nontji.
A., 2000. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. 200 Hal.
_______., 2007.
Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. 125 Hal.
Oemardjati. S.B., 2000. Taksonomi Avertebrata. Universitas
Indonesia.Jakarta.39 Hal
Parlan. G.N., 2006. Pengaruh Penggunaan Bagian Buah
Kelapa (Cocos nuvicera) Sebagai Pakan Terhadap Pertumbuhan Cacing Laut (Nereis
sp.) dalam Wadah Pemeliharaan. Skripsi. Fakultas Parikanan dan Ilmu Kelautan.
Universitas Haluoleo. Kendari.
62 Hal.
Pratiwi. D.A., 2000. Buku Penuntun Praktikum Biologi I.
Erlangga. Jakarta. 97 Hal.
Romi, 2001. Biologi umum. Djambatan.
Bandung. 117 Hal.
Romimohtarto. K dan Juwana. S., 2007. Biologi Laut Ilmu Pengetahuan Tentang
Biota Laut. Djambatan.Jakarta. 249 Hal.
Rusyana, A., 2011. Zoologi
Invertebrata (Teori dan Praktik). Alfabeta. Bandung. 25 Hal.
Sabaryah, S., 2005. Identifikasi dan Tingkat Serangan
Ektoparasit Pada Udang Windu Yang Dipelihara Di Tambak Semi Intensif Desa Atowato Kecamatan Soropia Kabupaten
Konawe. Sulawesi Tenggara. Universitas Haluoleo. Kendari. 45
Hal.
Saktiyono,
2005. Biologi Laut. PT Intan Pariwara. Jakarta. 101 Hal.
Sartika.
Dewi., 2002. Aspek Biologi Reproduksi Teripang Pasir (Holothuria scabra) di
Perairan Pantai Desa Sorue Jaya Kecamatan Soropia Kabupaten Kendari Sulawesi
Tenggara. Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Universitas Haluoleo. Kendari. 42 H al.
Simmon,
2004. The Clam Worm. Bali Pos. Bali. 16 Hal.
Sudarno,
2000. Biologi. Erlangga. Jakarta. 78 Hal.
Sugiarti, 2000. Invertebrata. Lembaga
Sumberdaya Informasi. IPB. Bogor. 69 Hal
Suwignyo. S. Widigdo. B. Wardiatno. Y. Krisanti. M..
2005. Avertebrata Air Jilid II. Penebar Swadaya.Djambatan. Jakarta.
Tomu Rusman. 2002. Studi
Jenis Makanan Kepiting Bakau (Scylla Serata) yang Tertangkap Pada Perairan
Hutan Magrove Keseluruhan Tinanggea. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Universitas Haluoleo. Kendari. 44 Hal.
Warditno.
2002. Makhluk Hidup. Erlangga. Jakarta. 67 Hal.
Yahya H.. 2003. Tempat Berteduh Di Bawah Laut. UI Press. Jakarta. 37 Hal.